Wednesday, December 13, 2017

Cara Mendaftarkan Pernikahan/Perkawinan ke KBRI Swiss



(sambungan dari blog saya sebelumnya, Pernikahan di Swiss https://destrianitazone.blogspot.ch/2017/11/pernikahan-di-swiss.html

Pernikahan di Swiss sudah saya jalankan bersama suami saya Jey, di Frauenfeld. Namun bukan berarti urusan sudah selesai. Kami berdua wajib untuk mendaftarkan pernikahan tersebut ke Kedutaan Besar Indonesia di Swiss. Hal tersebut bertujuan antara lain untuk memberitahukan kepada pemerintah Indonesia bahwa status telah berubah dari single menjadi menikah (married). 

Selain itu, pendaftaran pernikahan di KBRI juga berfungsi sebagai bentuk perlindungan WNI, karena saya tinggal di negara orang sebagai Warga Negara Asing (WNA), dan sebagai syarat kelengkapan untuk memperoleh surat keterangan/buku nikah dari Kantor Catatan Sipil (bagi yang beragama selain islam) atau KUA (bagi yang beragama islam).


Syaratnya pun mudah, karena saya tinggal mengcopy beberapa dokumen yang dibutuhkan. 


Oh ya, selain itu, Kedutaan Besar RI di Bern juga sangat friendly dan kooperatif dalam memberikan jawaban kita melalui email. Jadi untuk lebih meyakinkan saya lagi agar tidak salah mencantumkan dokumen, saya kembali melayangkan email saya ke bern.kbri@kemlu.go.id

Email saya mencakup pertanyaan tentang syarat-syarat apa saja yang harus saya penuhi dalam rangka mendaftarkan pernikahan kami. Nantinya KBRI akan menerbitkan Surat Keterangan Nikah yang diperlukan dalam proses pendaftaran pernikahan tersebut. 

Berikut adalah persyaratan dokumen yang saya kirimkan ke KBRI pada 25 November lalu, yang kini sudah mendapatkan balasan berupa Surat Keterangan Nikah.

1. Mengisi formulir permohonan Surat Keterangan (formulir dapat diunduh pada link di bawah ini)
https://www.kemlu.go.id/bern/id/layanan-konsuler/pelayanan-wni/PublishingImages/Pages/Surat-Keterangan/Formulir%20Permohonan%20Surat%20Keterangan.pdf
2. Salinan atau fotokopi Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Zivilstandsamt atau Bureau de Civil;
3. Salinan paspor masing-masing suami dan isteri;
4. Salinan salah satu dari dokumen berikut ini:
    • Kartu Identitas (Carte de légitimation/ Auslander Ausweis/ Izin Tinggal Swiss atau Liechtenstein);
    • Surat Bukti Domisili (Control d’habitant / Anwohnerkontrolle).
      (Saya sendiri menggunakan kartu identitas (Ausweis) yang saya dapatkan beberapa minggu setelah saya mendaftarkan di Gemeinde di Kanton Thurgau setelah menikah.
5. Mengisi formulir Pendaftaran Diri sebagai Warga Negara Indonesia yang tinggal di Swiss.

Mengutip dari pernyataan di laman web KBRI Bern, sesuai dengan Undang-undang no.23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri wajib melaporkan keberadaan, kepindahan, perubahan alamat, status izin tinggal, serta kejadian penting lainnya (seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, maupun kematian) kepada pemerintah setempat dan/atau Perwakilan RI yang meliputi tempat tinggalnya (Ps. 4 UU no.23/2006).

Untuk itu setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri sangat diharapkan untuk melaporkan keberadaan dirinya kepada Perwakilan RI setempat apabila akan tinggal lebih dari 5 (lima) hari di negara yang dikunjungi.

Lapor diri pada Perwakilan RI setempat sangat besar manfaatnya. Tentunya sangat diharapkan agar setiap WNI yang berada di luar negeri menjaga dirinya masing-masing dan senantiasa dijauhi dari kesulitan dan berbagai hambatan. 

Namun, apabila terjadi hal yang tidak diharapkan pada diri seorang WNI, maka tentunya akan jauh lebih mudah bagi Perwakilan RI (dalam hal ini Bagian Konsuler) setempat untuk membantunya jika WNI tersebut sudah mendaftarkan/melaporkan data dirinya di Perwakilan RI. Proses dan prosedur untuk lapor diri sangat mudah, cepat dan tidak dipungut bayaran apapun.

Yang dibutuhkan untuk pendaftaran diri antara lain: 
 
1. Mengisi formulir pendaftaran diri (formulir dapat diunduh pada link berikut)
https://www.kemlu.go.id/bern/Documents/Formulir-Pendaftaran-Diri.pdf

2. Pas foto pemohon 1 (satu) lembar berwarna, berukuran 4x6 cm (ditempel pada formulir pendaftaran diri;
 
3. Paspor asli yang masih berlaku (masa berlaku minimal 6 bulan);

4. Salinan/ foto kopi salah satu dari dokumen berikut ini:
- Kartu Identitas (Carte de Légitimation atau Auslander Ausweis/Swiss Permit);
- Surat Bukti Domisili (Control d’habitant atau Anwohnerkontrolle).
*(Untuk nomor 3 dan 4 sudah jadi satu dengan kelengkapan syarat           pendaftaran pernikahan, jadi tak perlu dicopy dobel)
*(Proses pendaftaran diri dan Surat Keterangan Pernikahan di KBRI Bern tidak dikenai biaya.)

Jadi, jika dihitung secara total, syarat yang saya lampirkan dalam amplop berukuran A4 antara lain:
1. Formulir permohonan Surat Keterangan Nikah;
2. Fotokopi Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Zivilstandsamt atau Bureau de Civil;
3. Fotokopi paspor masing-masing suami dan isteri;
4. Fotokopi Kartu Identitas (Carte de légitimation/ Auslander Ausweis/ Izin Tinggal Swiss atau Liechtenstein);
5. Formulir Pendaftaran Diri yang ditempel pas foto. 

Proses pendaftaran diri dapat dilakukan melalui pos atau bisa juga datang langsung ke KBRI di Bern. Karena lokasi rumah kami jauh dari KBRI, kami mengirimkannya melalui POS dengan membubuhi prangko seharga CHF 1.80 (lambat tidak apa-apa, yang penting sampai di KBRI). 
Surat itu dikirimkan ke KBRI ke alamat: 

Embassy of Indonesia
P.O. Box 112
3000 Bern 15 

Tidak lupa, kami juga melampirkan amplop balasan dengan nama dan alamat lengkap tujuan pengiriman serta dibubuhi perangko CHF 6.30 (syarat dari KBRI), agar mereka dapat mengirimkan Surat Keterangan Nikah tersebut tepat di alamat kita. 

Karena saat di Kantor Pos saya tidak menemukan perangko seharga tersebut, saya membubuhinya dengan perangko seharga CHF 7.20 CHF dari empat perangko seharga 1.80 CHF. 

Seminggu setelah surat itu kami kirimkan ke KBRI, saya mendapatkan telepon dari KBRI yang menanyakan kembali apakah alamat yang tercantum pada surat balasan sudah benar. Hal tersebut dilakukan agar surat tidak menyasar atau kembali dikirim ke KBRI. 

Sekitar tiga hari kemudian, kami sudah mendapatkan balasan dari KBRI berupa Surat Keterangan Nikah. Nantinya, saat saya kembali ke Indonesia, saya dapat membawa surat ini agar pernikahan kami juga dicatatkan di Indonesia.

(akan saya update lagi tahun depan Insya Allah ketika saya sampai di Indonesia untuk mencatatkan pernikahan kami)

Friday, November 17, 2017

Pernikahan di Swiss



Finally my wedding time is come!! Tanggal 17 Oktober 2017 menjadi hari terbahagia, paling bersejarah untuk saya dan suami saya Jerome Frick. Setelah melalui proses yang melelahkan dan panjang (but grateful) dari Februari hingga Agustus, akhirnya kami dipanggil oleh kantor catatan sipil di Frauenfeld, untuk melengkapi syarat-syarat pernikahan.

Pada 4 September 2017 lalu, Saya dan Jey mendatangi kantor Zivilstandsamt untuk mencocokkan dokumen pernikahan seperti yang telah kami kumpulkan sebelumnya. Sekaligus untuk menentukan tanggal pernikahan. Ternyata, kami masih harus membayar lagi biaya untuk mengurus keperluan. Jadi, buat yang emang udah serius mau nikah sama bule (especially Swiss), tanyain dulu pasangannya, siap enggak dengan biaya mahal? Karena for me, to be honest, biaya nikahku kalau dihitung2 mahal. Di Indonesia udah keluar kurang lebih 7 jutaan, di sini masih bayar ratusan CHF, belum lagi asuransi, surat keterangan domisili, dan lain-lain.

Well, di hari itu, kami diminta lagi untuk membayar persyaratan pernikahan, sebesar CHF 380 atau sekitar kurang lebih Rp 5.195.000. Dari bukti bayar yang kami terima, bukti bayar itu untuk membiayai (di dokumen ditulis bahasa Jerman, kurang lebih artinya seperti di tanda kurung) :
1. Entgegennahme Vorbereitungsverfahren CHF 125.00
(tanda terima prosedur persiapan pernikahan)

2. Trauung während den ordentlichen Trauzeiten CHF 75.00
(pernikahan di hari biasa)

3. Auszug aus dem Eheregister (CIEC) CHF 30.00
(kutipan dari daftar perkawinan)

4. Prüfung ausländischer Urkunden mit grösserem Aufwand CHF 150.00
(Pemeriksaan dokumen asing dengan usaha lebih besar) - (pakai intel kali ya?)
Untuk poin nomor 2, pemilihan hari pernikahan berpengaruh terhadap biaya. Untuk hari pernikahan yang bersamaan dengan hari libur atau hari besar, maka akan dikenakan biaya akan lebih besar.
Kami pun sepakat untuk memilih tanggal 17102017 sebagai hari pernikahan kami. Dan pihak sipil menyetujuinya. Selanjutnya kami diminta untuk menunjuk siapa nama saksi dalam pernikahan, tanggal lahir mereka, dan alamatnya.
Dalam tanda bukti yang kami terima dari Zivilstandsamt disepakati sebagai berikut:
Gerne bestätigen wir Ihnen den Trauungstermin:
Dienstag, 17. Oktober 2017 um 14.00 Uhr
in Frauenfeld TG, St. Gallerstrasse 4, Holdertor
-=-=-===============================================================
Pada 17 Oktober, kami sekeluarga berangkat ke lokasi yang dituju untuk menjalani ikrar pernikahan di kantor sipil, tepat jam 14.00 WIB (Swiss selalu tepat waktu, salut!). Di Frauenfeld itu, kami disahkan negara Swiss sebagai pasangan suami istri. Jujur, saya masih pusing dengan prosedur yang harus dijalani di Swiss ketika WNI menikah dengan orang dari sana. Beruntungnya, suami dan mertua saya merupakan orang yang gercep. Tepat di hari berikutnya kami langsung mengurus prosedur lanjutan, yakni terkait asuransi dan izin tinggal atau aufenthaltstitel.
Di Swiss, semua penduduk (bukan hanya warga negara Swiss), tapi semua orang yang tinggal di Swiss harus memiliki asuransi. Karena saya belum mendapatkan pekerjaan, maka asuransi saya masih ditanggung oleh suami saya. Adapun untuk kartu aufenthaltstitel, membutuhkan waktu sekitar 2 minggu. Nanti setelah mengisi dokumen, kita akan dipanggil oleh Kanton, untuk prosedur foto, sidik jari dan tanda tangan, untuk dibuatkan kartu tersebut. Dengan kartu ini, maka kita resmi menjadi penduduk Swiss (bukan warga negara ya), dan berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang sama.
-=-===================================================================
prosedur pernikahan tak hanya sampai di situ. Sebagai warga negara Indonesia yang bermukim di negara asing, pastinya kita pengen dong negara tetap melindungi kita. Karena itu, setiap WNI yang menikah dengan orang asing dan tinggal di negara lain, wajib untuk melaporkan ke Kedutaan Besar Indonesia (Indonesian Embassy). Karena saya tinggal di Swiss, maka saya harus melaporkan pernikahan saya ke Indonesian Embassy di Bern. Caranya mudah. Saat ini saya juga sedang menikuti prosedurnya, kalian bisa klik link ini.
Print dulu dokumennya, kemudian isi sesuai keadaan yang sekarang, dan kirim ke alamat kedutaan besar yakni di
Embassy of Indonesia
PO BOX 112
3000 Bern 15


(selanjutnya, dokumen akan saya update setelah saya memperoleh balasan dari Kedutaan Besar di Bern ya).

Friday, September 8, 2017

Toleransi Agama yang Aku Rasakan di Swiss




Tinggal di Swiss, berarti aku harus siap untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, termasuk perbedaan keyakinan yang aku temui di tengah-tengah keluarga Jey. To be honest, pacarku, Jey lahir di tengah-tengah penganut katolik. Tentu saja nantinya di Desember, aku juga akan merasakan suasana natal di keluarganya.

Namun aku bersyukur Jey menenangkanku dan berkata bahwa keluarganya memiliki toleransi yang cukup tinggi. Salah satunya ketika kakak tertua Jey, Rebecca Frick datang ke rumah 31 Agustus 2017. Dia mengetahui bahwa aku islam dan tidak mengkonsumsi makanan yang dilarang menurut ajaran agamaku. Karena itu saat ia datang, ia membawakanku snack dan makanan yang halal. Saat aku mengatakan bahwa aku dan Jerome akan melaksanakan ibadah salat idul adha pun dia juga happy mendengarkannya.

Hal itu berlanjut dengan kedatangan kakak keduanya, Desiree Frick pada 4 September 2017 bersama suami dan kedua anaknya. Saat awalnya aku, Jerome dan Paps yang diundang ke rumahnya untuk sekedar makan malam dan saling mengenal dengan seluruh keluarganya. Namun karena mobil paps yang mogok, jadwal mendadak diubah dan kami yang menjadi tuan rumah. Saat Desi datang, aku dibawakan bunga indah banget, sayangnya aku lupa apa nama bunganya. Ia juga membawakanku cokelat swiss yang yummy.

Oleh Desi, aku dikenalkan dengan tradisi keluarga makan bersama dengan menu Raclette. Untuk menghidangkan Raclette, bahan-bahan yang diperlukan antara lain kentang rebus, keju, nanas kalengan, paprika, jamur champignon, dan daging asap. Nah, daging ini yang awalnya bikin aku ketar-ketir, karena biasanya mereka lebih sering menggunakan daging babi. Sedangkan aku tak mengkonsumsinya, begitu juga Jerome. Namun ternyata Desi sudah mengetahui bahwa aku tak mengkonsumsi babi, dan ia membawakanku daging ayam asap. Dia juga benar-benar memisahkan tempat yang digunakan untuk meletakkan daging babi dan daging ayam, begitu juga pan kecilnya.

Cara memasaknya pun unik. Keju dipotong2, dimasukkan ke dalam pan kecil dan dipanggang di atas panggangan listrik. Keju pun meleleh, tinggal kita menuangkannya di atas kentang dan memakannya. Yummy sekali. Kalau ingin tambahan “lauk”, tinggal masukkan potongan keju tersebut ditambah daging, jamur, atau paprika dan memanggangnya hingga kejunya meleleh. Karena belum terbiasa mengkonsumsi keju dalam jumlah banyak, baru tiga kali pan keju saja aku sudah merasa kekenyangan. Bayangkan aja, secara selama ini orang Indonesia konsumsi pecel aja udah enak banget dengan ragam bumbu yang aneka ragam, ini cuma keju dipanggang sama paprika, jamur atau daging tanpa bumbu sama sekali, yang bikin kenyang ya kejunya itu.

Menurutku, mereka sama sekali tidak mempermasalahkan perbedaan keyakinanku. Mereka justru begitu respek, dan menanyakan, apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh orang muslim. Aku bilang aja jujur, tidak boleh berhubungan seks di luar nikah, kalau terkena liur anjing harus dibasuh tujuh kali salah satunya dengan menggunakan tanah, dan lain-lain. I know, I am not yet a good muslim. But atleast i am learning day by day to be better person.

Pengalamanku mengenai halal-haram terakhir diuji kemarin, Kamis, 7 September 2017. Selama aku di sini, paps selalu membeli daging kalau enggak sapi ya daging ayam. Yang aku takutkan, kalau paps sebenarnya ingin mengkonsumsi daging babi tapi tidak enak denganku. Tapi ternyata tidak. Saat itu, aku yang biasanya ikut paps jalan-jalan ke Jerman, pilih tunggu di rumah untuk bersih-bersih dan blogging. Nunggu paps lama, aku juga membunuh rasa penat dengan nonton film Harry Potter and The Prisoner of Azkaban. Saking asyiknya mungkin ya, aku sampai ketiduran, dan baru bangun sekitar pukul 16.00 WIB.

Aku bener-bener shock, karena aku yang biasanya masak untuk kami bertiga. Saat berlari ke dapur, ternyata paps udah enjoy masak beberapa menu yang tentu aja bener-bener asing buat aku. Pertama, salad olive, kedua pasta jamur champignon untuk fettucini. Paps juga masih memiliki dua bungkus seperti potongan daging ayam, dan satunya.... berwarna putih, masih terbungkus dalam wadah transparan, yang ternyata adalah daging babi. Aku sempat deg-degan juga ya, ini gimana kalau sampai pan nya tercampur dan sebagainya.

Alhamdulillah dong, i really would say thanks to God. Because I believe when we ask, then He will make easier. Tiba-tiba papa bilang pakai bahasa jerman, yang kira-kira intinya gini,” Daging ayam ini buat kamu dan Jerome, dimasak di pan besar ini. Dan ini, daging babi, buat saya, masaknya di sini. Separated,” kata Paps.

Aku benar-benar bersyukur banget memiliki calon mertua yang benar-benar baik dan pengertian seperti Paps. I sometimes think, what i have done in life so I can get this many happiness things. Ketemu cowo ganteng, hatinya baik, papanya baik, keluarganya juga baik, semoga ini tidak menjadikanku sebagai pribadi yang senantiasa bersyukur menghargai berkah dan terhindar dari sifat sombong.

Paps juga senang mengkonsumsi wine. Ketika aku menemaninya ke Jerman, ia pasti selalu membeli sampai lima botol wine untuk diminum saat kami bersama menyantap hidangan di meja makan. Meski ia mengetahui Jerome tak mengkonsumsi wine apalagi aku, saat kami menyiapkan meja untuk makan malam, paps selalu membawakan kami berdua equil water non alcohol dari gudang. “It is for you and Jerome,” tuturnya.

Itu ceritaku tentang halal dan haram di keluarga Frick ya. Intinya, aku bersyukur banget, di dalam keluarga ini tidak ada sama sekali tekanan dan justru mereka benar-benar menghargai keberadaanku di sini, dan mereka juga memperlakukan aku seperti istilahnya memanusiakan manusia. Kalau saja non muslim menghargai muslim dan memperlakukannya dengan baik, kenapa kita yang muslim kadang mudah banget kesulut isu enggak jelas dan mengatakan agama lain itu enggak baik dan lalalala? Weeeitss aku enggak mau debat di sini. Karena menurut aku, lebih baik memandang orang dari pribadi mereka saja, bukan dari agamanya. Terlepas mau orang lain pilih agama apa, itu urusan mereka. Bukankah kalau kita sebagai umat muslim tapi punya hati yang kotor juga akan dihisap amalnya untuk diketahui berhak tidaknya mereka masuk surga, atau justru dijebloskan ke neraka? So, for me, better silent, and keep improving ourself with good things only.

To be Continued


Thursday, September 7, 2017

Hari Pertamaku di Steckborn, Swiss


Selfie di eichhölzli , spot terbaik melihat pemandangan Bodensee di Steckborn



Aku pertama kali menginjakkan kaki di Swiss pada Senin, 29 Agustus 2017, setelah pacarku Jerome Frick, dan paps Bernhard Ewald Frick menjemputku di Bandara International Zurich pagi harinya. Usai pesawat tiba pukul 08.00, atau terlambat satu jam dari perkiraan, aku harus melewati imigrasi untuk dapat mengambil koper bawaanku. Ada untungnya ketika kita terakhir mendatangi imigrasi, karena kita tidak perlu berdesak-desakan saat mengambil koper di tempat pengambilan barang dari bagasi.

Usai mendorong kelima tas ku dengan troli, aku berjalan keluar menuju tempat kedatangan, sambil celingukan mencari Jerome. Dan voalaaa, cowo ganteng berjaket abu datang menghampiriku sambil senyum n ketawa bahagia (kayaknya sih bahagia hahaha). He hugged me so tight so did I, it was beautiful moment ever. Aku seneng banget. Terlebih saat paps juga mendatangiku dan memelukku. Berasa ketemu sama bokap sendiri. Aku benar-benar bahagia. Kami langsung berjalan menuju mobil dan Jerome mendorong bawaanku untuk dimasukkan ke bagasi mobil.

Paps duduk di bagian depan. Sedangkan aku dan Jerome duduk di jok belakang. Bukannya enggak ngehargai paps yaa, katanya dia kangen sama gue, pengen duduk di belakang makanya. Hahaha yaudah, aku mah ngikut aja. Perjalanan pun berlangsung menyenangkan. Kami bercerita, paps bertanya kepadaku dalam bahasa Swiss-Jerman, dan Jerome menerjemahkannya ke bahasa Inggris. Ketika aku ngasih feedback dalam bahasa Inggris ala kadarnya, Jerome kembali nerjemahin kata-kataku ke bahasa Swiss-Jerman ke Paps. Aku begitu takjub menyaksikan betapa indahnya pemandangan Spenjang Zurich menuju Steckborn. Gilaaaaaa indah bangetttt. Ini luas banget dan enggak banyak bangunan tinggi kaya di Jakarta. Tanah kosong pun ditanami sama tumbuhan hijau agar sapi bisa makan rumput di situ. Sedangkan lahan lainnya ditanami pohon apel dan pear serta anggur. Indah banget. Gue katrok... melongo sepanjang jalan tengok kanan kiri, semuanya tertata rapi.



Selfie pertama dengan Paps n Jerome di eichhölzli



 Kami sejenak berhenti di eichhölzli untuk melihat view Steckborn dari atas. Di sana kami juga pertama kali melakukan wefie sebelum akhirnya perjalanan kembali dilanjutkan ke rumah. 

 
Sesampainya di rumah, aku meletakkan barang-barang bawaanku ke lemari. Jerome juga menyiapkan kamar khusus untukku beserta meja kerja dan lemari. Sayangnya paps tidak bisa lama-lama di rumah, karena harus berangkat ke Jerman untuk mengambil barang untuk keperluan online shopnya di kantor pos sana. Oh ya, Jerome juga punya anjing lucu banget, warnanya putih, jenisnya maltese. Namanya Violetta.

Akhirnya di hari pertamaku di Jerman hanya aku habiskan bersama Jerome, jalan-jalan di sekitaran Steckborn, ke danau Bodensee, ke toko jus apel milik temannya, Beni, serta ziarah ke makam mamanya Jerome, Zitta Frick. Kata Jerome, aku datang di Swiss di waktu yang tepat, yakni pas musim summer, di mana bunga-bunga lagi mekar dan suasana juga enggak begitu dingin. Karena saat nanti musim gugur dimulai, cuaca bakal dingin banget. Apalagi saat musim salju datang di bulan Desember, suhu bisa mencapai minus nol derajad.


Jalan-jalan keliling Steckborn





Di Swiss itu banyak banget jenis-jenis bunga. Semuanya indaaaah banget. Tapi aku herannya, kok beda banget ya sama di Indonesia. Di sini, setiap bunga itu mekar bebas di depan rumah tanpa dipagari. Tapi enggak ada tuh tangan usil yang sampai tega metik bunga-bunga itu. Sense mereka akan keindahan dan estetika tinggi kali ya, makanya mereka enggak mau nakal ambil-ambil bunga sembarangan kalau dipandang aja udah bikin ati seneng. Beda lah ya sama di Indonesia. Apalagi kalau ada persitiwa penting, biasanya kan bunga-bunga cantik ditaruh tuh di sekeliling bundaran HI, eh abis acara bubar, rusak tuh bunga-bunga. Mungkin kita harus sama-sama belajar dari orang Swiss kali ya tentang pentingnya menjaga tanaman terlebih bunga. Ya paling tidak nih ya, setelah orang Jakarta sibuk dan stress dengan segala aktivitasnya di kantor, belum lagi pulang harus melawan kemacetan, tapi nyampai rumah masih bisa sedikit terobati dengan melihat bunga-bunga bermekaran. Mungkin hal ini bisa loh dicoba, nanam-nanam bunga di halaman rumah.


Bunga Daffodil, penanda datangnya musim semi. Captured by me, copyright reserved.





Swiss rasa Jepang, berfoto di bawah pohon yang sedang bersemi







Bunga Tulip tumbuh subur hampir di setiap pekarangan rumah


 

Oh ya, aku pernah mendengar istilah kantin kejujuran di Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK. Kata teman-teman wartawan yang pernah ngepos di sana, kantin itu tidak ada yang jaga, dan hal ini juga dilakukan untuk mengetes kejujuran orang-orang yang membelinya. Hal itu juga terjadi di Swiss. Salah satu contohnya adalah warung kecil milik keluarga Wieland. Beni Wieland adalah teman dekat Jerome Frick. Keluarganya memiliki beberapa cabang usaha, salah satunya adalah jus apel yang dikelola oleh ibunya Beni. Jus apel milik keluarga Beni itu langsung diolah dari hasil panen apel di kebun mereka. Setelah apel dipetik, dicuci, kemudian diambil sarinya dan dituang dalam galon kaca.

Air apel dalam galon kaca itulah yang kemudian dijual dalam sebuah warung kecil tak berpenghuni. Sebelum mengunjungi makam mama Zitta, untuk pertama kalinya aku mampir ke warung jus itu. Aku lihat Jerome ngambil satu botol kosong seukuran 1,5 liter kaya botol Coke, langsung menaruh botol itu di selang galon kaca. “You can also choose apples you like, i will pay it here,” ujar Jerome. Aku nanya balik,” Where is seller who keep this store? Where do you gonna pay your money?”





Jerome lantas ambil beberapa koin sejumlah 2 CHF lebih (sekitar Rp 29.000) dan menaruhnya ke dalam kotak celengan kecil. “Here,” ucapnya sambil masukin duit itu ke kotak. Dia juga ambil enam buah apel dan memasukkannya ke dalam tas. “Don’t worry, I paid it all,” kata Jerome lagi. Gila yaa, semurah hatinya itu keluarganya Beni kalau misal (memang) ada maling. Dan hal itu memang sering terjadi. Kata Jerome, sering anak-anak kecil mendatangi warung itu, mengambil jus tanpa membayarnya. Kan gila guysss... ya sekali lagi, kalau bisa ambil sisi positifnya, hal-hal kaya gini bisa ngajarin kita untuk melatih diri, tinggal pilih, mau jadi orang jujur atau tukang bohong kaya koruptor.

Hari pertamaku di Swiss juga diisi dengan mengunjungi danau Konstanz, atau juga bisa disebut dengan nama Bodensee. Cuaca yang cerah membuat orang-orang mendatangi danau untuk berenang atau sekedar duduk menikmati pemandangan. And you know what, air sekitar danau itu beningggg banget. Super duper bening. Karena apa? Orang-orang di sini sadar akan pentingnya kebersihan lingkungan dan air. Buktinya? Mereka memberikan tong sampah besar di setiap spot yang banyak dikunjungi orang, yang terbagi menjadi tiga, yakni tong sampah untuk kaleng, untuk plastik, dan organik. Ya gitulah akhirnya, kalau orang sama-sama sadar pengen lingkungannya indah, mereka pasti juga enggak pengen berbuat hal-hal yang bikin wilayahnya kotor n keindahannya terganggu.


Satu lagi yang bikin aku melongohhhh abis di sini, saat aku melewati pancuran air di situ ada tulisan “trinkwasser” yang artinya air yang mancur itu bisa diminum. Whuatttt? Air keran di pinggir jalan bisa diminum? Iyess Bisa. Kata Jerome, air itu pure mengalir dari gunung yang tidak terkontaminasi kuman-kuman karena memang alam di Swiss yang masih asri. Gila dong yaaa guyss kalo di Indonesia, terlebih di Jakarta, air galon aja beli mahal. Kalau ambil dari sumur harus dimasak dulu. Tapi di Swiss enggak.

Aku aja nih ya, kan enggak terlalu suka equil water. Jadi kalau lagi dinner sama Jerome and paps, aku selalu ambil air minum dari wastafel, tanpa dimasak, langsung aja gitu diminum. Seger gila kaya air galonan. Sekali lagi, sistem. Setiap tempat, setiap negara punya sistem yang beda-beda dalam mengatur komunitas yang ada di dalamnya. Selama ini, aku masih enjoy dengan sistem yang ada di Swiss dalam hal konsumsi ya. Mereka memang memberlakukan biaya listrik dan air pegunungan yang mahal. Tapi hal itu worth it, sebanding dengan apa yang mereka lakukan untuk senantiasa menjaga dan selaras dengan alam. Terima kasih Swiss, belum seminggu di Sini kamu udah ngajarin aku banyak hal.



To be continued... :)


My Journey to be In Swiss


Cerita ini akan aku mulai dari awal perjalanan dari Jakarta ya. Hari itu, 28 Agustus 2017, aku telah siap dengan lima tas bawaanku, yakni koper biru besar, dua tas warna hitam berisi pakaian dan beberapa perlengkapan, satu ransel biru berisi dua buah laptop, dan satu tas jinjing perempuan untuk powerbank dan alat kosmetikku. “I am ready to leave Jakarta,” ucapku saat itu. 


All my bags are packed and i am ready to go. :)



Waktu menunjukkan pukul 11.00, saat itu salah satu teman dekatku, Sabrina, wartawan dari Republika konfirmasi kalau dia mau anter aku ke bandara Soekarno Hatta sepulang liputan. “Gpp sis tar ak anter. Ga enak pindahan dewean iku sis. Eh, kamu tak datengin jam brp di kosan?” kata dia.

Aku bilang, aku berangkat jam 14.00 WIB ke bandara. Tapi jujur aku merasa berat kalau dia ikut nganter, karena aku yakin, nanti kalau aku check in, bakalan nangis pisah sama dia. Sabrina dan aku kenal tak cukup lama, namun karena kami berdua sama-sama orang Jawa, dan kadang sering curhat, kami jadi dekat. Tapi dia tetap mau antar, karena kebetulan liputannya juga baru selesai. “Ini udh slese liputan. Lg makan nasi kotak. Hehe. Yowes tar abis ini ak ke sana,” tuturnya.

Sebelum jam 14.00, Sabrina udah sampai di kost aku. Dia menyempatkan diri untuk salat dhuhur di sana sebelum akhirnya kami berangkat menggunakan Go Car. Tiket pesawat sudah di tangan. Saat itu aku dijadwalkan naik pesawat Thai Airways dengan nomor penerbangan TG436 dengan rute Jakarta-Bangkok di Terminal 2E Gate D6 dengan waktu boarding 18.15 WIB. Aku duduk di seat nomor 46K.

Setelah pesawat transit di Bandara Svarnabhumi Bangkok selama tiga jam, perjalananku akan dilanjutkan dengan pesawat Thai Airways dengan nomor penerbangan TG970, dengan rute Bangkok-Zurich dan waktu boarding pukul 00.25 waktu Bangkok. Di pesawat itu, aku duduk di seat 51 A. 


I was ready to go to Swiss! Take me away Thai Airways :)


Menjelang waktu check in, aku dikejutkan dengan kedatangan salah satu temanku, Avit Hidayat. Dia adalah salah satu teman terbaikku ketika aku masih bekerja di Tempo. Sedih rasanya saat itu harus pisah, karena di saat-saat terakhir aku di Jakarta, Avitlah yang selalu memberiku dukungan ketika teman-teman lain menjauh tanpa alasan. Di saat orang lain dengan sok taunya menilaiku dan memperlakukanku layaknya orang yang tak pantas diajak berteman (seriously but I feel this), Avitlah yang membelaku dan menjadi pendengar yang baik. But i think this is not the story I shoulf tell... haha. So, saat itu aku bilang ke Avit, tetap semangat jadi wartawan, tetap semangat nulis, kejar cita-citanya, dan jangan lupa sama aku. Avit juga kasih wejangan, untuk selalu berkabar.


Teman-temanku, Avit Hidayat (wartawan Tempo) dan Sabrina (wartawan Republika)


Waktu terbang pun datang, aku benar-benar harus mengucapkan good bye untuk dua temanku, Sabrina dan Avit. Jelas sekali aku melihat Sabrina nangis. Hahaha padahal dia bilanh sebelumnya,” Enggaklah... ngapain juga nangis sis, paling tar kamu yang nangis,” ucapnya. Nyatanya, kebalik, dia yang sedih. Hahaha cup cup Sabrina, tar kita ketemu lagi...


***

Aku melangkahkan kakiku menuju pesawat. My future hubby, Jerome Frick pinter banget milihin seat buat aku yang ternyata ada di tengah dan tepat dibelakang seat merupakan sekat sehingga aku bisa melonggarkan seat ku di sana. Apalagi kursi yang berjajar untuk tiga orang (46 K, 46 L, dan 46 M) hanya diduduki dua orang, sehingga aku bisa meletakkan tasku di kursi tengah. Aku duduk bersama seorang nenek yang bertolak ke Osaka, Jepang dan transit di Bangkok juga. 

Pelayanan di Thai Airways begitu menyenangkan. Hahaha mungkin juga aku yang norak karena baru sekali pergi ke luar negeri. Enggak papa yah, aku share aja, bukan sebagai promo, tapi di Thai Airways saya benar-benar dimanjakan dengan menu makanannya yang Asia banget dan halal dengan cita rasa khas Thailand. Tiga jam di pesawat menuju Bangkok rasanya singkat. Aku sengaja tak memejamkan mataku karena aku ingin menghabiskan waktu tidurku di penerbangan berikutnya yang jauh lebih panjang. Di pesawat aku melihat film yang pernah aku lihat bersama Jerome sewaktu di Jakarta, aiiiihhh.... Beauty and The Beast sambil menghabiskan menu dinnerku. Bener-bener enjoyable di pesawat. Kadang aku juga ngobrol dengan nenek yang duduk di sebelahku tentang tujuan perjalananku, apa yang akan kami lakukan usai sampai di tempat tujuan, dan sebagainya. Sesekali pramugara pesawat mendatangi kami, menawarkan minuman, dessert, dan lain-lain. Pokoknya kelas ekonomi berasa kelas bisnis deh kalau naik pesawat berwarna ungu ini.

Oh ya, sekedar informasi (buat yang baru sekali ke luar negeri kaya aku), kalau hanya transit, kita tidak perlu cap visa di imigrasi. Jadi, saat beragkat dari Bandara Soetta, kita dapat cap sekali sebagai tanda kita dapat allowance keluar dari Indonesia. Sesampainya di Bangkok, atau Dubai, kita hanya perlu ke tempat transit untuk penerbangan selanjutnya tanpa harus cek imigrasi. Kalaupun ingin membeli makanan di Bandara tempat transit, kalian bisa membeli di area bandara tanpa perlu pemeriksaan imigrasi.

Saran lainnya ketika kalian mau travel ke luar negeri dengan harus transit, pilihlah jarak waktu dengan penerbangan berikutnya minimal 3 jam. Jangan pilih waktu mepet hanya satu jam. Ini dilakukan karena terkadang pesawat pertama yang kita tumpangi terkena delay, sehingga ditakutkan kita tidak punya cukup waktu untuk ke penerbangan selanjutnya. Hal ini dialami oleh nenek yang duduk di sebelah aku (lupa namanya), yang hanya punya waktu 30 menit untuk ke penerbangan selanjutnya, karena pesawat tiba di Bangkok terlambat 45 menit. Saya enggak tahu gimana nasib nenek itu, karena di tiket juga tertulis “Gate Closes 10 Minutes before Departure”. Dan di Bandara Svarnabhumi Bangkok itu, untuk menuju ke lokasi transit kita harus berjalan sekitar 700 meter (bandaranya luas banget), belum harus antre dan melewati pemeriksaan keselamatan penerbangan.

Pemeriksaan di Bandara Svarnabhumi juga benar-benar ketat. Memasuki transit, yang harus dipersiapkan adalah paspor dan tiket (selalu siapkan dua hal ini di saku tas paling depan). Paspor itu layaknya KTP luar negeri. Sehingga saat kalian bepergian ke luar negeri, cukup simpan KTP di dompet, karena yang diperlukan adalah paspor. Saat memasuki pemeriksaan, aku diminta untuk melepas jaket, ikat pinggang, layaknya pemeriksaan keamanan pada umumnya. Namun karena pemeriksaan yang ketat, aku juga disuruh membongkar tas ransel biruku yang berisi laptop beserta isinya, serta melepas sepatu bootku.

Ikuti saja aturannya, karena ini demi keamanan bersama. Untuk pemeriksaan ini, sebagai informasi jangan membawa benda cair entah berupa gel, air mineral dan bentuk cair lainnya dengan ukuran lebih dari 100 ml, kalau kalian tak mau kena masalah di bandara. Kalau kalian memang mau bawa benda-benda itu, kalian bisa memasukkannya ke koper bagasi, dijamin barang aman. Mengenai pengalaman ini, aku sempat melihat seorang ibu-ibu dari China menangis saat mengetahui sabun cuci mukanya yang mahal enggak bisa dibawa terbang karena ukurannya sekitar 150 ml. Bahkan saat ia bilang,” Can I use this first by go to bathroom and give it back to you?” petugas bilang,”NO”. Makanya, jangan bawa dirimu dalam masalah ya, enjoy the flight without problem.

Aku lupa di Gate mana aku transit untuk penerbangan ke Zurich. Tapi untuk setiap transit, sampai di bandara aku sarankan kalian untuk menuju ke petugas, di Gate mana kalian transit untuk penerbangan selanjutnya. Sehingga kalian tak perlu takut bakal ketinggalan pesawat. Di bandara sebenarnya juga tersedia wifi yang bisa diakses gratis oleh penumpang. 

Sayangnya di sana tidak cukup informasi mengenai hal ini. Di Svarnabhumi meski ada wifi gratis, namun tak ada flyer atau petunjuk yang menginformasikan password dan username untuk akses internet di Gate transitku. Apalagi saat itu menunjukkan 23.45 dan tak terlihat satupun petugas yang jaga sehingga akupun hanya bisa duduk mendengarkan musik sampai waktu terbangku ke Zurich tiba. 

Pukul 00.45, waktu boarding menuju Zurich tiba. Setelah penumpang bisnis diminta masuk terlebih dahulu menuju pesawat, giliran penumpang kelas ekonomi yang masuk, termasuk aku. Pesawat Thai Airways itu berbadan besar, aku enggak tahu jenisnya apa, tapi dalam setiap baris kelas ekonomi, ada 9 orang yang duduk yang terbagi dalam tiga baris dan dua sekat. Aku duduk bersama satu orang pria sepertinya berasal dari timur tengah dan satunya perempuan berasal dari China. Tak seperti penerbangan sebelumnya, aku tak akrab dengan keduanya. Sialnya, kursi yang aku duduki stucked, sehingga tak bisa dilonggarkan ke belakang. Tapi tak apa, karena perjalanan akan dilakukan sepanjang malam, aku akan terus mencoba untuk tidur selama 11 jam. Pegal juga sih pantat harus duduk.

Oh ya, ketika terbang, aku suka duduk di dekat jendela. Pertama, aku suka sensasi naik turun turbulensi pesawat, kedua, aku senang menyaksikan gumpalan awan alias cotton candy dan menjepretnya dengan ponselku. Tapi, enggak enaknya adalah ketika kebelet pipis di pesawat, dan harus izin di penumpang yang ada di sebelah kita. So, it is your choice.

Perjalanan selama 11 jam aku lewati dengan cara bangun tidur, tidur lagi, bangun lagi, tidur lagi, tanpa gosok gigi dan minum kopi. Benar-benar bosen, padahal udah diisi juga dengan nonton film dan main games di monitor yang ada di depanku. Tapi tetap aja, kalau enggak bisa ke mana-mana, pantat pegel juga. Aku ada saran buat teman-teman yang pergi ke LN untuk menghindari jetlag, buat aku sih berhasil, mungkin kalian bisa coba. Yaitu, jangan pakai jam tangan saat di pesawat. Kalau mau intip jam, cukup intip yang ada di handphone, karena jam di HP itu langsung menyesuaikan waktu di mana kita tinggal. Beda dengan jam di tangan yang harus di set ulang. Enggak tau juga sih apakah jam tangan mahal bisa langsung set waktu secara otomatis, enggak pernah beli jam mahal euy, pakai Casio aja udah bersyukur banget, hahaha.

Daaan... aku seneng banget saat aku liat jam udah pukul 05.00, saat intip jendela, terlihat gumpalan awan dan cahaya matahari terbit. Indah banget guysss langit Eropa. Cerah banget, indah banget saat lihat pegunungan Alpen dari pesawat. Bisa banget buat difoto buat koleksi di instagram. Aku juga tambah deg-degan menantikan kedatanganku di bandara. Bayangin mukanya Jerome saat jemput di bandara sama Paps Bernhard. Badan juga rasanya udah kaku banget pengen cepat-cepat turun dari pesawat dan menghirup udara segar di Swiss. 


Good Morning my Sunshine and Cotton Candy! :)




Pemandangan Pegunungan Alpen dari dalam pesawat, Senin, 29 Agustus 2017


Pesawatku mengalami sedikit keterlambatan. Yang harusnya dijadwalkan tiba pukul 07.15, akhirnya baru nyampe sekitar 08.00. Pertama kali menginjakkan kaki di Zurich International Airport, aku reflek mengucap Alhamdulillahirobilalamin ya Allah... bersyukur bisa menginjak belahan bumi lain dengan selamat dan sehat. 

Langsung aku cari kamar mandi, bersihin muka dan badan ala kadarnya biar enggak kucel-kucel amat saat ketemu calon suami. Eeh, ternyata gara-gara kelamaan di toilet aku ketinggalan dong sama rombongan pesawatku. But i tried to stay cool, karena kalau buru-buru itu enggak baik kan, bikin pikiran berantakan, jadi tenang aja. Ga bakal ilang juga kok kopernya dicuri orang.

Keluar dari toilet, aku tanya ke satpam perempuan yang jaga di sana. Langsung deh ya ala ala ngomong pakai bahasa Inggris gitu. “Excuse me, where I can get my all bags?” . Satpam itu minta aku buat naik kereta bawah tanah, karena itu yang mengantarkan aku buat ambil koper bagasi sekaligus cek di imigrasi. Huwaaaa ternyata masih banyak dong yang antri di sana. Imigrasi dibagi menjadi dua antrean, yakni imigrasi untuk orang yang tinggal di kawasan Uni Eropa (EU), dan untuk umum seluruh negara, yang antreannya puanjang banget. Pas tiba giliranku, aku ditanya sekitar tiga menit. 

Apa tujuanku ke sini, berapa lama akan tinggal di sini, nanti tinggal sama siapa selama di sini, kapan menikah kalau memang tujuannya untuk persiapan nikah?. I was panic before, but i tried to handle it. Aku tatap petugas imigrasi perempuan itu tanpa ragu, ceileeeh... aku jawab aja, “I come here to visit my future husband, Jerome Frick. We would marry in this October, I will live with Mr Bernhard Frick, my future father in law. I would stay here maybe for 6 months first, then I will back to Indonesia with my husband, and stay here for long,” ucapku kurang lebih saat itu. 

Petugas itu lantas menscan pasporku, dia juga bilang congratulations karena aku akan menikah. Setelah diperbolehkan masuk, aku berjalan menuju tempat pengambilan bagasi. Alhamdulillah, antrean untuk ambil bagasi udah enggak ada, dan aku melihat bawaanku bersama 1-3 koper lain yang masih muter-muter. Kuambil bawaanku yang berat totalnya sekitar 26 kilo itu untuk aku bawa ke troli, menuju tempat kedatangan. Aaaaa hati rasanya enggak karuan bayangin muka Jerome and paps, karena udah 5 bulan enggak ketemu.

Keluar dari tempat kedatangan, aku celingukan, Jerome di mana, pikirku. Tiba-tiba, satu orang cowok ganteng, pake blazer n celana warna abu lari ke arahku dan langsung senyum. He hugs me! Ya ampun, itu ternyata Jerome! Huwaaaa ganteng bangetttttt laki gueee,, hahaha sampe agak enggak ngenalin karena selama long distance, kami hanya ngobrol via video call dan telepon. Dan saat ketemu, mukanya enggak lagi begitu chubby, huhuuu i lost my favorite donut cheeks. He looks so happy that time so i am. Paps juga nyamperin aku, he hugs me too, i was really happy! Happy banget. Penantian panjang dan kesabaran akhirnya berbuah manis. Kami pun langsung membawa seluruh barang ke mobilnya paps, menikmati perjalanan menuju rumah mereka, di Riethaldenstrasse 10a, 8266 Steckborn.


Me and my future husband Jerome Frick


Me, my future paps in law Bernhard Frick and Jerome Frick

tempat tinggal Jerome and Paps, Steckborn-Swiss



I am gonna tell you my next story ya... to be continued. Let me take a breath awhile :)

Wednesday, June 7, 2017

Plagiatisme dan Wartawan Bodrex di Mata Saya

Saya adalah seorang wartawan. Di mata saya, wartawan tak hanya sebagai ladang pekerjaan untuk mencari nafkah, tapi juga profesi di mana kita harus dapat mempertanggungjawabkan semua artikel yang kita tulis dan dipublikasikan, baik lewat portal online maupun koran dan majalah.

Saya adalah wartawan Tempo. Tempat di mana saya tak hanya berprofesi, tapi ditempa bagaimana menjadi wartawan berkualitas, tak sekedar menulis berita, tapi mengetahui betul apa yang kita tulis dengan kaidah bahasa yang benar sehingga dapat dengan mudah dimengerti orang lain. Karena itu, tak mudah saya akui menjadi wartawan sekelas wartawan Tempo. Bukannya sombong atau membandingkan diri dengan rekan wartawan lain di lapangan, tapi dengan pengalaman sehari-hari,semakin terasa bahwa saya merasa beruntung berada di Tempo.

Saya adalah wartawan Ekonomi. Awalnya saya tak merasa berkeinginan untuk bergelut dengan angka dan menuliskannya sebagai berita untuk dapat dibaca orang. Karena selain bekerja dua kali (memahami maksud dalam hal yang diliput, mungkin juga menghitung angka, dan menuliskannya secara apik dalam berita), saya juga harus berhati-hati agar tidak salah dalam menuliskan angka dalam suatu tulisan. Karena jika salah, it is gonna be the most fault dan enggak enak juga kalau sampai dibully. 

Saat itu saya masih ingat awal memutuskan untuk menjadi wartawan ekonomi. Karena saya pernah phobia dengan pos liputan saya, Bursa Efek Indonesia, tapi saya berusaha mengalahkan ketakutan terbesar saya itu dengan cara belajar dan sedikit memaksakan diri untuk berakrab ria dengan yang namanya saham, ihsg,emiten, dan sebagainya. Lama kelamaan saya mulai paham, and it is gonna be easy for me if i have to report about Indonesia Stock Exchange. Meski akhirnya saya juga harus difloating setelah dua teman saya di desk ekonomi memutuskan untuk resign, sehingga harus cover sana sini.

Sedikit mudahnya membuat berita soal bursa efek dibandingkan berita ekonomi lainnya mendorong saya pada Senin lalu, 5 Juni 2017 berinisiatif membuat berita soal turunnya harga saham PT Indosat Ooredoo Tbk di bursa efek, menyusul munculnya hashtag #BoikotIndosat di twitter. Sebenarnya saat itu saya libur, karena piket semalaman di kantor. Tapi kenapa muncul inisiatif untuk bikin, karena saya merasa punya tanggung jawab untuk merunning isu soal Indosat, karena tiga berita awalannya telah saya tulis semalaman, sehingga saya merasa punya tanggung jawab untuk melanjutkan isu.

Setelah sampai kost, sekitar pukul 09.00 WIB saya bersih diri dan sejenak ambil waktu untuk tidur, berharap bisa bangun sekitar jam 12.30 untuk pantau saham Indosat, karena saya punya feeling ada kecenderungan saham emiten ISAT itu turun. (hal ini pernah terjadi pada emiten Garuda Indonesia-GIAA saat mantan dirutnya ditetapkan sebagai tersangka, atau PT Japfa yang sahamnya turun menyusul KPPU memvonis adanya dugaan kartel apkir ayam).

Ternyata benar, saham ISAT turun, dibuka pada level harga Rp 6.650, turun 25 poin atau 0,37 persen dari penutupan perdagangan kemarin di harga Rp 6.675. Menjelang penutupan perdagangan sesi I, alih-alih menguat, harga saham terjun 150 poin atau 2.25 persen di level harga Rp 6.525.

Kemudian saya mencoba mengirim whats app saya ke analis saham, mas Reza Priyambada. Beliau adalah Kepala Riset dari PT Bina Artha Securities. Lalu saya tanya ke beliau, apa turunnya saham ISAT itu karena ramai-ramai #boikotindosat di twitter, atau ada sentimen lain. 

"Sepertinya dari sejak ISAT keluarkan kinerja kuartal I yang labanya turun, harga sahamnya terus tertekan. Keuntungan selisih kurs yang anjlok memicu penurunan laba," begitu yang Reza balas ke whats app saya, sehingga saya berani menuliskannya pada artikel saya dengan kalimat seperti ini: tutur Reza Priyambada kepada Tempo, Selasa, 6 Juni. 


Karena ini pembicaraan antara saya dan Reza, saya berhak klaim dong ya kalau tulisan ini eksklusif? Tapi rasa kesal saya muncul saat keesokan harinya, Rabu, 7 Juni 2017 mas Reza seperti biasanya share tentang analisis saham, bond, rupiah dan beberapa info lain. Lalu di sana, beliau juga mengirimkan tentang reminder tentang saham Indosat, dan dia ternyata share link berita dari Media Bisnis Indonesia, berita saya Tempo.co dan satu lagi dari Indowarta.com

Ini yang bikin saya pengen bilang makasih ke mas Reza. Karena di situ saya tahu bahwa tulisan saya dengan GAMPANGNYA di PLAGIAT sama seorang wartawan BODREX. Namanya Resa. Tulisannya plek ketiplek, dan kesalnya lagi, dia hapus tulisan
tutur Reza Priyambada kepada Tempo, Selasa, 6 Juni 2017.

This is the prove.


Screenshot berita saya yang ada di Tempo.co






Tulisan wartawan bodrex yang asal copy tulisan hanya ganti judul dan hapus keterangan tanggal


I feel like i am gonna say, what the fuck are you doing?!!! You are paid from your company to make a report, not to do a plagiarism!! Dan gue sebagai penulis, biarpun ini hanya tulisan online, tapu saya tahu gimana nyeseknya saat tulisan seenak jidat diplagiat sama orang, tanpa sedikitpun kasih credit title. Saya rasa setiap tulisan juga punya hak cipta ya, kok bisa orang seenaknya copy tulisan orang dan dianggap bahwa itu hasil karya liputannya. Kalau kerjaan lo jadi wartawan cuma copy berita orang, sorry to say dude, orang goblog juga bisa!!

Saya lalu mencoba untuk mencari tahu di mana kantor berita Indowarta.com itu di mana dan berapa nomor teleponnya, tapi saya nggak dapat. Karena jujur, ini kedua kalinya saya mengetahui tulisan saya diplagiat. Pertama, saat dulu calin gubernur dan calon wakil gubernur Anies Baswedan dan Sandiaga Uno main ke kantor saya, di Jalan Palmerah Barat 08 Jakbar. Tentu eksklusif juga dong, karena cuma wartawan Tempo online, Tempo koran dan Tempo Majalah yang ada di sana. Saat itu saya menulis tentang Alasan Anies Baswedan Pilih Pandji Pragiwaksono menjadi jubir, meski tersirat, Anies mengutarakan pendapatnya, dan terekam di recorder saya, dan salah satu wartawan Tempo Koran, Devy.

Setelah saya tulis, itu artikel banyak yang baca. Lalu pada sore harinya, saya mencoba mengetikkan kata kunci Pandji Pragiwaksono Anies Baswedan di mesin pencari Google. Saya cuma nemu dua artikel, satu tulisan saya, dan satunya dari media monitorday.com. Pas media itu saya klik, saya melongo lihat kenyataan bahwa tulisan itu sama persis dengan tulisan yang saya buat, hanya saja kalimat : kata Anies Baswedan saat berkunjung ke kantor Tempo, (saya lupa tanggalnya), dan itu diganti dengan kalimat: kata Anies Baswedan di Jakarta.

Nyeseeeekkk boooo kesel rasanya melihat tulisan diplagiat seenaknya sama orang. Apalagi ini tulisan kan dibuat atas nama perusahaan tempat saya kerja, tempat saya bangga bisa kerja di sana, dan udah berpikir juga gimana nyusun kata-kata yang baik, kok ya apes tulisannya dicopy. Saya jujur enggak papa kalau ada yang menulis ulang tulisan saya, tapi mbok ya esensi dari mana tulisan itu dibuat,dan siapa yang nulis itu jangan dihilangkan. Saya sering kok nemu portal online yang copy tulisan saya, tapi nama byline saya tetap dimuat dan tulisannya tak diubah sama sekali.

Lalu saya coba hubungi si monitorday.com ini, langsung sama ngomong sama redaksinya, saya bilang, ini media abal-abal atau apa, kok seenaknya copy tulisan saya? Saya mau ngomong sama wartawannya, emang dia dibayar untuk plagiat tulisan orang??! Akhirnya media abal abal itu minta maaf ke saya, dan seketika diganti isinya tanpa ada koreksi. Padahal di Tempo, saya diajarkan untuk kejujuran. Ketika ada tulisan yang salah, pihak redaksi tak segan untuk mengoreksi tulisan dan menyampaikan koreksi di bawahnya. Mungkin hanya sedikit media yang masih mau melakukan ini.

Belum lagi soal wartawan yang nggak tahu dari mana datangnya, hadir di suatu acara, pas acaranya udah kelar, yang lain sibuk bikin berita,eh dia malah sibuk cari amplop. Seperti itukah mental kalian dengan menyandang profesi sebagai wartawan? Bukannya sok suci. Saya juga pernah menerima goodie bag seperti makanan, atau flashdisk, karena materi presentasi seringkali ada di sana, dan makanan emang diberikan ke semua orang yang hadir. Tapi kalau amplop? Sebegitu murahkah anda wahai wartawan bodrex sehingga bisa dibayar pakai amplop dan nulis dengan cara copy paste karya orang lain?

Mending pikir lagi deh. Jujur saya merasa terganggu dengan keberadaan jurnalis bodong seperti kalian. Itulah kadang kenapa ada orang yang memandang sebelah mata terhadap wartawan, ya karena anda orang yang lebih pantas disebut dengan pelaku plagiat dan wartawan amplop, ada di tengah-tengah kami, jurnalis yang memang ingin bekerja untuk memberikan informasi kepada masyarakat dengan benar, dengan hasil kerja sendiri, dan dibayar kantor. Semoga kalian para Bodrexers segera sadar ya. 

Friday, May 19, 2017

Petunjuk Melakukan Pernikahan di Swiss



Blog ini saya tulis pas banget setelah saya pulang dari Kedutaan Besar/Embassy Swiss, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis, 18 Mei 2017. sebelum saya lupa, saya ingin sharing mengenai cara melakukan pernikahan di Swiss untuk WNI dengan pria berkewarganegaraan Swiss. Semoga blog ini berguna buat kamu yang akan melakukan hal serupa untuk mencatatkan pernikahan di catatan sipil Swiss.

Saya ingin bercerita tentang latar belakang pengajuan pernikahan saya dengan pria berkewarganegaraan Swiss, bernama Jerome Frick. Kami berkenalan langsung saat kami sedang berlibur di Bali. Saat itu saya janjian untuk bertemu dengan salah satu teman saya di komunitas traveler, Couchsurfing, bernama Oandrilla, dari India. Saat itu, dia mengajak saya untuk bertemu di pantai Sanur. Kebetulan, saya saat itu cuma single traveler yang lagi stress sama kerjaan di Jakarta. Yaudah, melipir sejenak selama seminggu buat liburan. Di sana, Drila membawa Jerome dan mengenalkannya pada saya. Eh, malah kami baper, jadi teman dekat dan akhirnya, malah saya yang jadian sama Jerome.

Tak perlu waktu lama bagi kami untuk memutuskan, yes, let’s get married. Keputusan itu kami ambil setelah saya kembali ke Jakarta, dan Jerome meneruskan liburannya ke Lombok. Padahal planningnya dia mau ke Thailand dan ke Singapura sebelum akhirnya ikut bicycle tour for fundraising di Afrika. Eh, malah setelah dua minggu, dia nyusul saya ke Jakarta, and ask me to marry! I know maybe some people will say both of us are crazy. But who cares? Daripada berzina, iya kan... mulai lah itu sejak Februari kami berdua cari-cari informasi tentang bagaimana melangsungkan pernikahan di Swiss.

Oh ya, kenapa kami memutuskan menikah di Swiss? Alasan saya... karena biaya untuk menikah di sana lebih murah dibandingkan di Indonesia. Dan kami tak perlu diribetkan dengan urusan segala macem (meski sebenarnya ngurus dokumen pernikahan juga ribet), tapi saya sebagai orang Jawa, saya tahu gimana ribetnya tradisi orang jawa mau mantu. Saya termasuk orang yang nggak mau ribet, so, ya saya harus berangkat ke Swiss.

Langsung saya ya, berikut ini dokumen-dokumen yang harus disiapkan untuk melangsungkan pernikahan di Swiss

1. KTP dan paspor
untuk dua hal ini harus yaa, pasti kalau KTP udah pada punya dong. Kalau untuk yang belum punya passpor, silakan datang dulu ke imigrasi untuk mengurus pembuatan paspor. Beberapa blogger udah baik banget menuliskan beberapa petunjuk mengenai tata cara pembuatan paspor.

2. Fotokopi akta kelahiran
Persyaratan yang ini masih mudah ya, kalian pasti pada punya akta kelahiran kan? Nah itu tinggal difotokopi saja.

3. Kutipan akta kelahiran terbaru yang dikeluarkan oleh catatan sipil
Untuk hal ini, saya konsultasi dulu dengan pihak kedutaan besar tentang prosedural pembuatannya, karena kantor catatan sipil di tempat saya tinggal tidak mengeluarkan kutipan akta kelahiran terbaru. Solusinya gampang banget. Yakni saya harus memfotokopi akta kelahiran lama saya, dan fotokopian itu kemudian dilegalisir kembali oleh Kepala Kantor Catatan Sipil yang sekarang menjabat. Nah, setelah itu, jangan lupa untuk minta spesimen tanda tangan dari Kepala Kantor Catatan Sipil yang tadi tanda tangan ya, karena itu benar-benar dibutuhkan banget sewaktu nanti dilegalisir di Kementerian Hukum dan Ham dan di Kemenlu.

4. Surat Keterangan Single/Belum menikah
Intinya surat ini menerangkan bahwa kalian belum menikah. (Saya share berdasarkan pengalaman saya ya. Untuk yang sudah menikah, nanti saya akan share dokumen yang saya dapat dari embassy).
nah, untuk prosedur nomor empat ini agak-agak ribet yah.. Karena saya beragama islam, maka nantinya yang menerbitkan surat keterangan belum menikah ini adalah KUA. Kalau non-islam, yang menerbitkan nanti kantor catatan sipil. Tapi menurut saya, prosedur awal untuk proses mendapatkan surat keterangan single sama kok. Jadi, anda terlebih dahulu datang ke pak RT dulu untuk meminta surat pengantar membuat surat ini. Dari RT, surat pengantar tersebut dibawa ke RW, dan RW akan membuatkan surat pengantar ke kelurahan. Di sana, bilang kalau kamu mau minta surat keterangan belum menikah. Setelah berbekal surat dari kelurahan, meluncurlah ke KUA untuk dibuatkan surat keterangan single itu tadi. Jadi, nanti di surat keterangan single itu akan tercantum nama Lurah dan nama Kepala KUA. Jangan lupa juga yaa, dimintakan spesimen tanda tangan, karena surat ini juga harus dilegalisir di Kementerian Hukum dan Ham serta Kementerian Luar Negeri.

5. SKCK Polda
Nah, untuk yang menikah di luar negeri, otomatis harus punya visa dong. Nah, untuk itu bagian pembuatan visa saya selipkan di sini sekalian yaa, biar bisa berurutan mengurusnya. Untuk cara pembuatan SKCK Polda udah saya tulis di blog saya sebelumnya.

Nah, untuk petunjuk nomor 3,4, dan 5, ini yang paling klimaks ngurusnya. Istilahnya, kalau sudah melewati ketiga hal ini, akan lempeng jalannya. Jadi, nanti kutipan akta kelahiran terbaru, keterangan single, dan SKCK Polda harus dilegalisir terlebih dahulu di Kementerian Hukum dan HAM. Alamatnya di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Kalau naik busway, kalian bisa turun di Halte Busway Gor Sumantri. Lalu siapkan meterai 3 lembar seharga Rp 6.000. Masukkan ketiga dokumen tersebut ke dalam map warna merah bersama fotokopiannya masing-masing 1 lembar +fotokopi KTP. Nanti tanya ke petugas satpamnya, mau ke Dirjen AHU untuk legalisasi dokumen, gedungnya ada di bagian pinggir.

Masing-masing dokumen itu nanti biaya legalisirnya Rp 25 ribu ya, jadi totalnya Rp 75 ribu, dibayar di Bank BNI yang ada di Dirjen AHU bagian legalisasi. (petunjuk ini udah ada di blog saya sebelumnya).

Usai dilegalisir di Kementerian Hukum dan HAM (kurang lebih 3 hari untuk pengambilan), bawa dokumen tersebut ke Kementerian Luar Negeri. Di sana prosedurnya hampir sama, tapi dokumen dimasukkan ke warna kuning. (blog saya tentang legalisir di Kementerian Luar Negeri udah saya tulis juga ya).

Nah,, setelah ketiga surat itu komplit dengan berbagai tanda tangan itu, simpan dulu... karena masih ada dokumen tambahan yang lain...



6. Fotokopi kartu keluarga yang lama

7. Kartu keluarga terbaru dan fotokopinya
(tidak perlu terbit 6 bulan yang lalu), yang penting terbaru, dan struktur keluarga tidak berubah/tidak ada tambahan anggota/pengurangan anggota.

===-==-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=========================================
Itu tadi baru petunjuk dokumen dari saya pihak wanita dan WNI. Bagaimana dengan calon pasangannya? Untuk pasangan lebih gampang ya, hanya 3 dokumen

1. Fotokopi paspor pasangan
2. Fotokopi sertifikat marital status (certificat individuel d’etat civil)

3. Surat keterangan domisili (Wohnsitzbestätigung/Attestation de domicile)

Apabila saat pengajuan pernikahan partner sedang berada di Swiss, ia dapat mengirimkan dokumennya melalui email untuk melengkapi dokumen partnernya, dan partner tidak perlu hadir pada saat pengajuan dokumen di kedutaan besar Swiss di Jakarta.

-=-=-=-==================================================================
Petunjuk Visa D

Seperti yang saya tulis sebelumnya, ketika kita mau melaksanakan pernikahan di luar negeri, in case dalam tulisan ini, Swiss, maka kita harus membuat izin tinggal lama (long stay) yakni visa jenis D. Saya pernah bertanya kenapa bukan visa schengen? Karena visa schengen tidak dapat diperpanjang, dan ketika habis, kita harus buat dari awal. Sedangkan visa D memang diharuskan untuk suami/istri orang sana, yang nantinya bisa diupgrade.

Nah, untuk membuat visa D, berkas-berkasnya dibuat dan dikirimkan bersamaan dengan persyaratan pernikahan. Berikut syarat-syarat yang harus dilengkapi (which is nggak terlalu sulit, karena hampir sama dengan persyaratan pernikahan, kecuali SKCK-yang udah saya jelaskan sebelumnya, harus dibuat di provinsi tempat anda tinggal.).

1. Tiga rangkap formulir aplikasi visa tipe D
untuk formulir ini, kita bisa meminta langsung ke jak.visa@eda.admin.ch
Atau bisa download di sini

2. Paspor asli dengan 3 fotokopi halaman pertama

3. 4 lembar pasfoto dengan latar belakang putih, ukuran 3,5x4,5 cm
Untuk ini, kamu bilang ke tukang foto yang ada di studio, bahwa foto ini untuk standar pembuatan visa. Dengan 70% fokus ke wajah, dan background harus putih. No edit ya. Fyi, model gambar fotonya mirip yang di paspor.

4. Fotokopi paspor pasangan

5. SKCK yang udah dilegalisir di Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Luar Negeri

6. Terjemahan SKCK (mengenai hal ini saya udah share di blog sebelumnya), harus diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah.



-=-=-===================================================================

setelah semua dokumen persyaratan lengkap, scan semuanya ya, lalu kirim ke email jak.visa@eda.admin.ch karena pihak swiss embassy akan memeriksa kelengkapan dokumen sebelum anda diminta ke sana untuk mengisi semua formulir dan pembayaran untuk biaya visa D, dan pernikahan.

*Setelah dokumen dinyatakan lengkap, anda akan diberi janji waktu dan tanggal bertemu dengan pihak kedutaan, untuk mengisi formulir perlengkapan pernikahan dan pembayaran. Sewaktu saya mengajukan, saya dikenai biaya Rp 4.090.000 untuk pernikahan, dan Rp 900.000 untuk pengajuan visa. Oh ya, masing-masing dokumen tadi kemudian difotokopi masing-masing dua lembar yaa..

*Jangan khawatir, untuk dokumen asli yang sifatnya seumur hidup, saat di embassy nanti akan dikembalikan langsung kok. Misalnya kartu keluarga, jadi tak perlu khawatir kalau dokumen ikut kekirim, karena pihak Swiss cukup ngerti, dan hanya dikirim fotokopiannya.

*Selama pembuatan visa D, tidak diizinkan untuk keluar negeri dulu, karena apa? Karena paspor kita ditahan dulu di sana untuk kepentingan pembuatan visa D. Tapi nanti akan dikembalikan setelah pembuatan visa selesai. Akan langsung dihubungi via email dan telepon dari pihak kedutaannya.

*Setelah dokumen diajukan, dan pembayaran selesai, ini adalah waktu anda untuk take a deep breath and say Thanks to God. Karena perjalanan almost done. Anda tapi harus meninggu sekitar4-8 minggu untuk dinyatakan OKE, you can marry in Switzerland!

*setiap pengajuan dokumen harus sabar yaa, anggap aja, untuk mendapatkan kebahagiaan. Kita harus rela susah-susah dulu. Pengalaman saya, sempat mau nyerah aja ketika mentok di spesimen yang bikin saya harus bolak-balik lagi. Tapi pacar saya menguatkan saya, jadi saya bisa senyum lagi..

*Kalau ada yang kurang jelas mengenai petunjuk di atas, you may leave message on this comment, or send me email on destrianita.kusumastuti@gmail.com

i would be happy if i can help :)

Dan... berikut dokumen Informasi mengenai perkawinan/partnership antara negara Swiss dan Indonesia yang bisa kalian unduh



Alamat Kementerian untuk keperluan Legalisasi:

Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia

Menara Sentra 3rd Fl, Jl. H.R. Rasuna Said kav. 10, Kuningan, Jakarta Selatan Tel: 021- 2902 3235/6/7/8/9

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

Ditjen protokol dan Konsuler, Direktorat Konsuler, Subdirektorat "Clearance and legalization" Jl. Taman Pejambon no. 6, Jakarta Pusat

Tel:021 344 1508 ex. 3103

Seputar Kawin Campur - Mohon Untuk Tidak Mengirim Email

  Pesan ini benar-benar ingin sekali saya sampaikan kepada para pembaca blog, terutama untuk yang sedang dalam proses mengurus dokumen perni...