Wednesday, June 7, 2017

Plagiatisme dan Wartawan Bodrex di Mata Saya

Saya adalah seorang wartawan. Di mata saya, wartawan tak hanya sebagai ladang pekerjaan untuk mencari nafkah, tapi juga profesi di mana kita harus dapat mempertanggungjawabkan semua artikel yang kita tulis dan dipublikasikan, baik lewat portal online maupun koran dan majalah.

Saya adalah wartawan Tempo. Tempat di mana saya tak hanya berprofesi, tapi ditempa bagaimana menjadi wartawan berkualitas, tak sekedar menulis berita, tapi mengetahui betul apa yang kita tulis dengan kaidah bahasa yang benar sehingga dapat dengan mudah dimengerti orang lain. Karena itu, tak mudah saya akui menjadi wartawan sekelas wartawan Tempo. Bukannya sombong atau membandingkan diri dengan rekan wartawan lain di lapangan, tapi dengan pengalaman sehari-hari,semakin terasa bahwa saya merasa beruntung berada di Tempo.

Saya adalah wartawan Ekonomi. Awalnya saya tak merasa berkeinginan untuk bergelut dengan angka dan menuliskannya sebagai berita untuk dapat dibaca orang. Karena selain bekerja dua kali (memahami maksud dalam hal yang diliput, mungkin juga menghitung angka, dan menuliskannya secara apik dalam berita), saya juga harus berhati-hati agar tidak salah dalam menuliskan angka dalam suatu tulisan. Karena jika salah, it is gonna be the most fault dan enggak enak juga kalau sampai dibully. 

Saat itu saya masih ingat awal memutuskan untuk menjadi wartawan ekonomi. Karena saya pernah phobia dengan pos liputan saya, Bursa Efek Indonesia, tapi saya berusaha mengalahkan ketakutan terbesar saya itu dengan cara belajar dan sedikit memaksakan diri untuk berakrab ria dengan yang namanya saham, ihsg,emiten, dan sebagainya. Lama kelamaan saya mulai paham, and it is gonna be easy for me if i have to report about Indonesia Stock Exchange. Meski akhirnya saya juga harus difloating setelah dua teman saya di desk ekonomi memutuskan untuk resign, sehingga harus cover sana sini.

Sedikit mudahnya membuat berita soal bursa efek dibandingkan berita ekonomi lainnya mendorong saya pada Senin lalu, 5 Juni 2017 berinisiatif membuat berita soal turunnya harga saham PT Indosat Ooredoo Tbk di bursa efek, menyusul munculnya hashtag #BoikotIndosat di twitter. Sebenarnya saat itu saya libur, karena piket semalaman di kantor. Tapi kenapa muncul inisiatif untuk bikin, karena saya merasa punya tanggung jawab untuk merunning isu soal Indosat, karena tiga berita awalannya telah saya tulis semalaman, sehingga saya merasa punya tanggung jawab untuk melanjutkan isu.

Setelah sampai kost, sekitar pukul 09.00 WIB saya bersih diri dan sejenak ambil waktu untuk tidur, berharap bisa bangun sekitar jam 12.30 untuk pantau saham Indosat, karena saya punya feeling ada kecenderungan saham emiten ISAT itu turun. (hal ini pernah terjadi pada emiten Garuda Indonesia-GIAA saat mantan dirutnya ditetapkan sebagai tersangka, atau PT Japfa yang sahamnya turun menyusul KPPU memvonis adanya dugaan kartel apkir ayam).

Ternyata benar, saham ISAT turun, dibuka pada level harga Rp 6.650, turun 25 poin atau 0,37 persen dari penutupan perdagangan kemarin di harga Rp 6.675. Menjelang penutupan perdagangan sesi I, alih-alih menguat, harga saham terjun 150 poin atau 2.25 persen di level harga Rp 6.525.

Kemudian saya mencoba mengirim whats app saya ke analis saham, mas Reza Priyambada. Beliau adalah Kepala Riset dari PT Bina Artha Securities. Lalu saya tanya ke beliau, apa turunnya saham ISAT itu karena ramai-ramai #boikotindosat di twitter, atau ada sentimen lain. 

"Sepertinya dari sejak ISAT keluarkan kinerja kuartal I yang labanya turun, harga sahamnya terus tertekan. Keuntungan selisih kurs yang anjlok memicu penurunan laba," begitu yang Reza balas ke whats app saya, sehingga saya berani menuliskannya pada artikel saya dengan kalimat seperti ini: tutur Reza Priyambada kepada Tempo, Selasa, 6 Juni. 


Karena ini pembicaraan antara saya dan Reza, saya berhak klaim dong ya kalau tulisan ini eksklusif? Tapi rasa kesal saya muncul saat keesokan harinya, Rabu, 7 Juni 2017 mas Reza seperti biasanya share tentang analisis saham, bond, rupiah dan beberapa info lain. Lalu di sana, beliau juga mengirimkan tentang reminder tentang saham Indosat, dan dia ternyata share link berita dari Media Bisnis Indonesia, berita saya Tempo.co dan satu lagi dari Indowarta.com

Ini yang bikin saya pengen bilang makasih ke mas Reza. Karena di situ saya tahu bahwa tulisan saya dengan GAMPANGNYA di PLAGIAT sama seorang wartawan BODREX. Namanya Resa. Tulisannya plek ketiplek, dan kesalnya lagi, dia hapus tulisan
tutur Reza Priyambada kepada Tempo, Selasa, 6 Juni 2017.

This is the prove.


Screenshot berita saya yang ada di Tempo.co






Tulisan wartawan bodrex yang asal copy tulisan hanya ganti judul dan hapus keterangan tanggal


I feel like i am gonna say, what the fuck are you doing?!!! You are paid from your company to make a report, not to do a plagiarism!! Dan gue sebagai penulis, biarpun ini hanya tulisan online, tapu saya tahu gimana nyeseknya saat tulisan seenak jidat diplagiat sama orang, tanpa sedikitpun kasih credit title. Saya rasa setiap tulisan juga punya hak cipta ya, kok bisa orang seenaknya copy tulisan orang dan dianggap bahwa itu hasil karya liputannya. Kalau kerjaan lo jadi wartawan cuma copy berita orang, sorry to say dude, orang goblog juga bisa!!

Saya lalu mencoba untuk mencari tahu di mana kantor berita Indowarta.com itu di mana dan berapa nomor teleponnya, tapi saya nggak dapat. Karena jujur, ini kedua kalinya saya mengetahui tulisan saya diplagiat. Pertama, saat dulu calin gubernur dan calon wakil gubernur Anies Baswedan dan Sandiaga Uno main ke kantor saya, di Jalan Palmerah Barat 08 Jakbar. Tentu eksklusif juga dong, karena cuma wartawan Tempo online, Tempo koran dan Tempo Majalah yang ada di sana. Saat itu saya menulis tentang Alasan Anies Baswedan Pilih Pandji Pragiwaksono menjadi jubir, meski tersirat, Anies mengutarakan pendapatnya, dan terekam di recorder saya, dan salah satu wartawan Tempo Koran, Devy.

Setelah saya tulis, itu artikel banyak yang baca. Lalu pada sore harinya, saya mencoba mengetikkan kata kunci Pandji Pragiwaksono Anies Baswedan di mesin pencari Google. Saya cuma nemu dua artikel, satu tulisan saya, dan satunya dari media monitorday.com. Pas media itu saya klik, saya melongo lihat kenyataan bahwa tulisan itu sama persis dengan tulisan yang saya buat, hanya saja kalimat : kata Anies Baswedan saat berkunjung ke kantor Tempo, (saya lupa tanggalnya), dan itu diganti dengan kalimat: kata Anies Baswedan di Jakarta.

Nyeseeeekkk boooo kesel rasanya melihat tulisan diplagiat seenaknya sama orang. Apalagi ini tulisan kan dibuat atas nama perusahaan tempat saya kerja, tempat saya bangga bisa kerja di sana, dan udah berpikir juga gimana nyusun kata-kata yang baik, kok ya apes tulisannya dicopy. Saya jujur enggak papa kalau ada yang menulis ulang tulisan saya, tapi mbok ya esensi dari mana tulisan itu dibuat,dan siapa yang nulis itu jangan dihilangkan. Saya sering kok nemu portal online yang copy tulisan saya, tapi nama byline saya tetap dimuat dan tulisannya tak diubah sama sekali.

Lalu saya coba hubungi si monitorday.com ini, langsung sama ngomong sama redaksinya, saya bilang, ini media abal-abal atau apa, kok seenaknya copy tulisan saya? Saya mau ngomong sama wartawannya, emang dia dibayar untuk plagiat tulisan orang??! Akhirnya media abal abal itu minta maaf ke saya, dan seketika diganti isinya tanpa ada koreksi. Padahal di Tempo, saya diajarkan untuk kejujuran. Ketika ada tulisan yang salah, pihak redaksi tak segan untuk mengoreksi tulisan dan menyampaikan koreksi di bawahnya. Mungkin hanya sedikit media yang masih mau melakukan ini.

Belum lagi soal wartawan yang nggak tahu dari mana datangnya, hadir di suatu acara, pas acaranya udah kelar, yang lain sibuk bikin berita,eh dia malah sibuk cari amplop. Seperti itukah mental kalian dengan menyandang profesi sebagai wartawan? Bukannya sok suci. Saya juga pernah menerima goodie bag seperti makanan, atau flashdisk, karena materi presentasi seringkali ada di sana, dan makanan emang diberikan ke semua orang yang hadir. Tapi kalau amplop? Sebegitu murahkah anda wahai wartawan bodrex sehingga bisa dibayar pakai amplop dan nulis dengan cara copy paste karya orang lain?

Mending pikir lagi deh. Jujur saya merasa terganggu dengan keberadaan jurnalis bodong seperti kalian. Itulah kadang kenapa ada orang yang memandang sebelah mata terhadap wartawan, ya karena anda orang yang lebih pantas disebut dengan pelaku plagiat dan wartawan amplop, ada di tengah-tengah kami, jurnalis yang memang ingin bekerja untuk memberikan informasi kepada masyarakat dengan benar, dengan hasil kerja sendiri, dan dibayar kantor. Semoga kalian para Bodrexers segera sadar ya. 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Seputar Kawin Campur - Mohon Untuk Tidak Mengirim Email

  Pesan ini benar-benar ingin sekali saya sampaikan kepada para pembaca blog, terutama untuk yang sedang dalam proses mengurus dokumen perni...