Selfie di eichhölzli , spot terbaik melihat pemandangan Bodensee di Steckborn |
Aku pertama kali menginjakkan kaki di Swiss pada Senin, 29 Agustus 2017, setelah pacarku Jerome Frick, dan paps Bernhard Ewald Frick menjemputku di Bandara International Zurich pagi harinya. Usai pesawat tiba pukul 08.00, atau terlambat satu jam dari perkiraan, aku harus melewati imigrasi untuk dapat mengambil koper bawaanku. Ada untungnya ketika kita terakhir mendatangi imigrasi, karena kita tidak perlu berdesak-desakan saat mengambil koper di tempat pengambilan barang dari bagasi.
Usai mendorong
kelima tas ku dengan troli, aku berjalan keluar menuju tempat
kedatangan, sambil celingukan mencari Jerome. Dan voalaaa, cowo
ganteng berjaket abu datang menghampiriku sambil senyum n ketawa
bahagia (kayaknya sih bahagia hahaha). He hugged me so tight so did
I, it was beautiful moment ever. Aku seneng banget. Terlebih saat
paps juga mendatangiku dan memelukku. Berasa ketemu sama bokap
sendiri. Aku benar-benar bahagia. Kami langsung berjalan menuju mobil
dan Jerome mendorong bawaanku untuk dimasukkan ke bagasi mobil.
Paps duduk di bagian
depan. Sedangkan aku dan Jerome duduk di jok belakang. Bukannya
enggak ngehargai paps yaa, katanya dia kangen sama gue, pengen duduk
di belakang makanya. Hahaha yaudah, aku mah ngikut aja. Perjalanan
pun berlangsung menyenangkan. Kami bercerita, paps bertanya kepadaku
dalam bahasa Swiss-Jerman, dan Jerome menerjemahkannya ke bahasa
Inggris. Ketika aku ngasih feedback dalam bahasa Inggris ala
kadarnya, Jerome kembali nerjemahin kata-kataku ke bahasa
Swiss-Jerman ke Paps. Aku begitu takjub menyaksikan betapa indahnya
pemandangan Spenjang Zurich menuju Steckborn. Gilaaaaaa indah
bangetttt. Ini luas banget dan enggak banyak bangunan tinggi kaya di
Jakarta. Tanah kosong pun ditanami sama tumbuhan hijau agar sapi bisa
makan rumput di situ. Sedangkan lahan lainnya ditanami pohon apel dan
pear serta anggur. Indah banget. Gue katrok... melongo sepanjang
jalan tengok kanan kiri, semuanya tertata rapi.
Kami sejenak berhenti di eichhölzli untuk melihat view Steckborn dari atas. Di sana kami juga pertama kali melakukan wefie sebelum akhirnya perjalanan kembali dilanjutkan ke rumah.
Selfie pertama dengan Paps n Jerome di eichhölzli |
Kami sejenak berhenti di eichhölzli untuk melihat view Steckborn dari atas. Di sana kami juga pertama kali melakukan wefie sebelum akhirnya perjalanan kembali dilanjutkan ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku meletakkan barang-barang bawaanku
ke lemari. Jerome juga menyiapkan kamar khusus untukku beserta meja
kerja dan lemari. Sayangnya paps tidak bisa lama-lama di rumah,
karena harus berangkat ke Jerman untuk mengambil barang untuk
keperluan online shopnya di kantor pos sana. Oh ya, Jerome juga punya
anjing lucu banget, warnanya putih, jenisnya maltese. Namanya
Violetta.
Akhirnya di hari
pertamaku di Jerman hanya aku habiskan bersama Jerome, jalan-jalan di
sekitaran Steckborn, ke danau Bodensee, ke toko jus apel milik
temannya, Beni, serta ziarah ke makam mamanya Jerome, Zitta Frick.
Kata Jerome, aku datang di Swiss di waktu yang tepat, yakni pas musim
summer, di mana bunga-bunga lagi mekar dan suasana juga enggak begitu
dingin. Karena saat nanti musim gugur dimulai, cuaca bakal dingin
banget. Apalagi saat musim salju datang di bulan Desember, suhu bisa
mencapai minus nol derajad.
Jalan-jalan keliling Steckborn |
Di Swiss itu banyak banget jenis-jenis bunga. Semuanya indaaaah banget. Tapi aku herannya, kok beda banget ya sama di Indonesia. Di sini, setiap bunga itu mekar bebas di depan rumah tanpa dipagari. Tapi enggak ada tuh tangan usil yang sampai tega metik bunga-bunga itu. Sense mereka akan keindahan dan estetika tinggi kali ya, makanya mereka enggak mau nakal ambil-ambil bunga sembarangan kalau dipandang aja udah bikin ati seneng. Beda lah ya sama di Indonesia. Apalagi kalau ada persitiwa penting, biasanya kan bunga-bunga cantik ditaruh tuh di sekeliling bundaran HI, eh abis acara bubar, rusak tuh bunga-bunga. Mungkin kita harus sama-sama belajar dari orang Swiss kali ya tentang pentingnya menjaga tanaman terlebih bunga. Ya paling tidak nih ya, setelah orang Jakarta sibuk dan stress dengan segala aktivitasnya di kantor, belum lagi pulang harus melawan kemacetan, tapi nyampai rumah masih bisa sedikit terobati dengan melihat bunga-bunga bermekaran. Mungkin hal ini bisa loh dicoba, nanam-nanam bunga di halaman rumah.
Bunga Daffodil, penanda datangnya musim semi. Captured by me, copyright reserved. |
Swiss rasa Jepang, berfoto di bawah pohon yang sedang bersemi |
Bunga Tulip tumbuh subur hampir di setiap pekarangan rumah |
Oh ya, aku pernah
mendengar istilah kantin kejujuran di Komisi Pemberantasan Korupsi
alias KPK. Kata teman-teman wartawan yang pernah ngepos di sana,
kantin itu tidak ada yang jaga, dan hal ini juga dilakukan untuk
mengetes kejujuran orang-orang yang membelinya. Hal itu juga terjadi
di Swiss. Salah satu contohnya adalah warung kecil milik keluarga
Wieland. Beni Wieland adalah teman dekat Jerome Frick. Keluarganya
memiliki beberapa cabang usaha, salah satunya adalah jus apel yang
dikelola oleh ibunya Beni. Jus apel milik keluarga Beni itu langsung
diolah dari hasil panen apel di kebun mereka. Setelah apel dipetik,
dicuci, kemudian diambil sarinya dan dituang dalam galon kaca.
Air apel dalam galon
kaca itulah yang kemudian dijual dalam sebuah warung kecil tak
berpenghuni. Sebelum mengunjungi makam mama Zitta, untuk pertama
kalinya aku mampir ke warung jus itu. Aku lihat Jerome ngambil satu
botol kosong seukuran 1,5 liter kaya botol Coke, langsung menaruh
botol itu di selang galon kaca. “You can also choose apples you
like, i will pay it here,” ujar Jerome. Aku nanya balik,” Where
is seller who keep this store? Where do you gonna pay your money?”
Jerome lantas ambil
beberapa koin sejumlah 2 CHF lebih (sekitar Rp 29.000) dan menaruhnya
ke dalam kotak celengan kecil. “Here,” ucapnya sambil masukin
duit itu ke kotak. Dia juga ambil enam buah apel dan memasukkannya ke
dalam tas. “Don’t worry, I paid it all,” kata Jerome lagi. Gila
yaa, semurah hatinya itu keluarganya Beni kalau misal (memang) ada
maling. Dan hal itu memang sering terjadi. Kata Jerome, sering
anak-anak kecil mendatangi warung itu, mengambil jus tanpa
membayarnya. Kan gila guysss... ya sekali lagi, kalau bisa ambil sisi
positifnya, hal-hal kaya gini bisa ngajarin kita untuk melatih diri,
tinggal pilih, mau jadi orang jujur atau tukang bohong kaya koruptor.
Hari pertamaku di
Swiss juga diisi dengan mengunjungi danau Konstanz, atau juga bisa
disebut dengan nama Bodensee. Cuaca yang cerah membuat orang-orang
mendatangi danau untuk berenang atau sekedar duduk menikmati
pemandangan. And you know what, air sekitar danau itu beningggg
banget. Super duper bening. Karena apa? Orang-orang di sini sadar
akan pentingnya kebersihan lingkungan dan air. Buktinya? Mereka
memberikan tong sampah besar di setiap spot yang banyak dikunjungi
orang, yang terbagi menjadi tiga, yakni tong sampah untuk kaleng,
untuk plastik, dan organik. Ya gitulah akhirnya, kalau orang
sama-sama sadar pengen lingkungannya indah, mereka pasti juga enggak
pengen berbuat hal-hal yang bikin wilayahnya kotor n keindahannya
terganggu.
Satu lagi yang bikin
aku melongohhhh abis di sini, saat aku melewati pancuran air di situ
ada tulisan “trinkwasser” yang artinya air yang mancur itu bisa
diminum. Whuatttt? Air keran di pinggir jalan bisa diminum? Iyess
Bisa. Kata Jerome, air itu pure mengalir dari gunung yang tidak
terkontaminasi kuman-kuman karena memang alam di Swiss yang masih
asri. Gila dong yaaa guyss kalo di Indonesia, terlebih di Jakarta,
air galon aja beli mahal. Kalau ambil dari sumur harus dimasak dulu.
Tapi di Swiss enggak.
Aku aja nih ya, kan
enggak terlalu suka equil water. Jadi kalau lagi dinner sama Jerome
and paps, aku selalu ambil air minum dari wastafel, tanpa dimasak,
langsung aja gitu diminum. Seger gila kaya air galonan. Sekali lagi,
sistem. Setiap tempat, setiap negara punya sistem yang beda-beda
dalam mengatur komunitas yang ada di dalamnya. Selama ini, aku masih
enjoy dengan sistem yang ada di Swiss dalam hal konsumsi ya. Mereka
memang memberlakukan biaya listrik dan air pegunungan yang mahal.
Tapi hal itu worth it, sebanding dengan apa yang mereka lakukan untuk
senantiasa menjaga dan selaras dengan alam. Terima kasih Swiss, belum
seminggu di Sini kamu udah ngajarin aku banyak hal.
To be continued...
:)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.