Thursday, September 7, 2017

My Journey to be In Swiss


Cerita ini akan aku mulai dari awal perjalanan dari Jakarta ya. Hari itu, 28 Agustus 2017, aku telah siap dengan lima tas bawaanku, yakni koper biru besar, dua tas warna hitam berisi pakaian dan beberapa perlengkapan, satu ransel biru berisi dua buah laptop, dan satu tas jinjing perempuan untuk powerbank dan alat kosmetikku. “I am ready to leave Jakarta,” ucapku saat itu. 


All my bags are packed and i am ready to go. :)



Waktu menunjukkan pukul 11.00, saat itu salah satu teman dekatku, Sabrina, wartawan dari Republika konfirmasi kalau dia mau anter aku ke bandara Soekarno Hatta sepulang liputan. “Gpp sis tar ak anter. Ga enak pindahan dewean iku sis. Eh, kamu tak datengin jam brp di kosan?” kata dia.

Aku bilang, aku berangkat jam 14.00 WIB ke bandara. Tapi jujur aku merasa berat kalau dia ikut nganter, karena aku yakin, nanti kalau aku check in, bakalan nangis pisah sama dia. Sabrina dan aku kenal tak cukup lama, namun karena kami berdua sama-sama orang Jawa, dan kadang sering curhat, kami jadi dekat. Tapi dia tetap mau antar, karena kebetulan liputannya juga baru selesai. “Ini udh slese liputan. Lg makan nasi kotak. Hehe. Yowes tar abis ini ak ke sana,” tuturnya.

Sebelum jam 14.00, Sabrina udah sampai di kost aku. Dia menyempatkan diri untuk salat dhuhur di sana sebelum akhirnya kami berangkat menggunakan Go Car. Tiket pesawat sudah di tangan. Saat itu aku dijadwalkan naik pesawat Thai Airways dengan nomor penerbangan TG436 dengan rute Jakarta-Bangkok di Terminal 2E Gate D6 dengan waktu boarding 18.15 WIB. Aku duduk di seat nomor 46K.

Setelah pesawat transit di Bandara Svarnabhumi Bangkok selama tiga jam, perjalananku akan dilanjutkan dengan pesawat Thai Airways dengan nomor penerbangan TG970, dengan rute Bangkok-Zurich dan waktu boarding pukul 00.25 waktu Bangkok. Di pesawat itu, aku duduk di seat 51 A. 


I was ready to go to Swiss! Take me away Thai Airways :)


Menjelang waktu check in, aku dikejutkan dengan kedatangan salah satu temanku, Avit Hidayat. Dia adalah salah satu teman terbaikku ketika aku masih bekerja di Tempo. Sedih rasanya saat itu harus pisah, karena di saat-saat terakhir aku di Jakarta, Avitlah yang selalu memberiku dukungan ketika teman-teman lain menjauh tanpa alasan. Di saat orang lain dengan sok taunya menilaiku dan memperlakukanku layaknya orang yang tak pantas diajak berteman (seriously but I feel this), Avitlah yang membelaku dan menjadi pendengar yang baik. But i think this is not the story I shoulf tell... haha. So, saat itu aku bilang ke Avit, tetap semangat jadi wartawan, tetap semangat nulis, kejar cita-citanya, dan jangan lupa sama aku. Avit juga kasih wejangan, untuk selalu berkabar.


Teman-temanku, Avit Hidayat (wartawan Tempo) dan Sabrina (wartawan Republika)


Waktu terbang pun datang, aku benar-benar harus mengucapkan good bye untuk dua temanku, Sabrina dan Avit. Jelas sekali aku melihat Sabrina nangis. Hahaha padahal dia bilanh sebelumnya,” Enggaklah... ngapain juga nangis sis, paling tar kamu yang nangis,” ucapnya. Nyatanya, kebalik, dia yang sedih. Hahaha cup cup Sabrina, tar kita ketemu lagi...


***

Aku melangkahkan kakiku menuju pesawat. My future hubby, Jerome Frick pinter banget milihin seat buat aku yang ternyata ada di tengah dan tepat dibelakang seat merupakan sekat sehingga aku bisa melonggarkan seat ku di sana. Apalagi kursi yang berjajar untuk tiga orang (46 K, 46 L, dan 46 M) hanya diduduki dua orang, sehingga aku bisa meletakkan tasku di kursi tengah. Aku duduk bersama seorang nenek yang bertolak ke Osaka, Jepang dan transit di Bangkok juga. 

Pelayanan di Thai Airways begitu menyenangkan. Hahaha mungkin juga aku yang norak karena baru sekali pergi ke luar negeri. Enggak papa yah, aku share aja, bukan sebagai promo, tapi di Thai Airways saya benar-benar dimanjakan dengan menu makanannya yang Asia banget dan halal dengan cita rasa khas Thailand. Tiga jam di pesawat menuju Bangkok rasanya singkat. Aku sengaja tak memejamkan mataku karena aku ingin menghabiskan waktu tidurku di penerbangan berikutnya yang jauh lebih panjang. Di pesawat aku melihat film yang pernah aku lihat bersama Jerome sewaktu di Jakarta, aiiiihhh.... Beauty and The Beast sambil menghabiskan menu dinnerku. Bener-bener enjoyable di pesawat. Kadang aku juga ngobrol dengan nenek yang duduk di sebelahku tentang tujuan perjalananku, apa yang akan kami lakukan usai sampai di tempat tujuan, dan sebagainya. Sesekali pramugara pesawat mendatangi kami, menawarkan minuman, dessert, dan lain-lain. Pokoknya kelas ekonomi berasa kelas bisnis deh kalau naik pesawat berwarna ungu ini.

Oh ya, sekedar informasi (buat yang baru sekali ke luar negeri kaya aku), kalau hanya transit, kita tidak perlu cap visa di imigrasi. Jadi, saat beragkat dari Bandara Soetta, kita dapat cap sekali sebagai tanda kita dapat allowance keluar dari Indonesia. Sesampainya di Bangkok, atau Dubai, kita hanya perlu ke tempat transit untuk penerbangan selanjutnya tanpa harus cek imigrasi. Kalaupun ingin membeli makanan di Bandara tempat transit, kalian bisa membeli di area bandara tanpa perlu pemeriksaan imigrasi.

Saran lainnya ketika kalian mau travel ke luar negeri dengan harus transit, pilihlah jarak waktu dengan penerbangan berikutnya minimal 3 jam. Jangan pilih waktu mepet hanya satu jam. Ini dilakukan karena terkadang pesawat pertama yang kita tumpangi terkena delay, sehingga ditakutkan kita tidak punya cukup waktu untuk ke penerbangan selanjutnya. Hal ini dialami oleh nenek yang duduk di sebelah aku (lupa namanya), yang hanya punya waktu 30 menit untuk ke penerbangan selanjutnya, karena pesawat tiba di Bangkok terlambat 45 menit. Saya enggak tahu gimana nasib nenek itu, karena di tiket juga tertulis “Gate Closes 10 Minutes before Departure”. Dan di Bandara Svarnabhumi Bangkok itu, untuk menuju ke lokasi transit kita harus berjalan sekitar 700 meter (bandaranya luas banget), belum harus antre dan melewati pemeriksaan keselamatan penerbangan.

Pemeriksaan di Bandara Svarnabhumi juga benar-benar ketat. Memasuki transit, yang harus dipersiapkan adalah paspor dan tiket (selalu siapkan dua hal ini di saku tas paling depan). Paspor itu layaknya KTP luar negeri. Sehingga saat kalian bepergian ke luar negeri, cukup simpan KTP di dompet, karena yang diperlukan adalah paspor. Saat memasuki pemeriksaan, aku diminta untuk melepas jaket, ikat pinggang, layaknya pemeriksaan keamanan pada umumnya. Namun karena pemeriksaan yang ketat, aku juga disuruh membongkar tas ransel biruku yang berisi laptop beserta isinya, serta melepas sepatu bootku.

Ikuti saja aturannya, karena ini demi keamanan bersama. Untuk pemeriksaan ini, sebagai informasi jangan membawa benda cair entah berupa gel, air mineral dan bentuk cair lainnya dengan ukuran lebih dari 100 ml, kalau kalian tak mau kena masalah di bandara. Kalau kalian memang mau bawa benda-benda itu, kalian bisa memasukkannya ke koper bagasi, dijamin barang aman. Mengenai pengalaman ini, aku sempat melihat seorang ibu-ibu dari China menangis saat mengetahui sabun cuci mukanya yang mahal enggak bisa dibawa terbang karena ukurannya sekitar 150 ml. Bahkan saat ia bilang,” Can I use this first by go to bathroom and give it back to you?” petugas bilang,”NO”. Makanya, jangan bawa dirimu dalam masalah ya, enjoy the flight without problem.

Aku lupa di Gate mana aku transit untuk penerbangan ke Zurich. Tapi untuk setiap transit, sampai di bandara aku sarankan kalian untuk menuju ke petugas, di Gate mana kalian transit untuk penerbangan selanjutnya. Sehingga kalian tak perlu takut bakal ketinggalan pesawat. Di bandara sebenarnya juga tersedia wifi yang bisa diakses gratis oleh penumpang. 

Sayangnya di sana tidak cukup informasi mengenai hal ini. Di Svarnabhumi meski ada wifi gratis, namun tak ada flyer atau petunjuk yang menginformasikan password dan username untuk akses internet di Gate transitku. Apalagi saat itu menunjukkan 23.45 dan tak terlihat satupun petugas yang jaga sehingga akupun hanya bisa duduk mendengarkan musik sampai waktu terbangku ke Zurich tiba. 

Pukul 00.45, waktu boarding menuju Zurich tiba. Setelah penumpang bisnis diminta masuk terlebih dahulu menuju pesawat, giliran penumpang kelas ekonomi yang masuk, termasuk aku. Pesawat Thai Airways itu berbadan besar, aku enggak tahu jenisnya apa, tapi dalam setiap baris kelas ekonomi, ada 9 orang yang duduk yang terbagi dalam tiga baris dan dua sekat. Aku duduk bersama satu orang pria sepertinya berasal dari timur tengah dan satunya perempuan berasal dari China. Tak seperti penerbangan sebelumnya, aku tak akrab dengan keduanya. Sialnya, kursi yang aku duduki stucked, sehingga tak bisa dilonggarkan ke belakang. Tapi tak apa, karena perjalanan akan dilakukan sepanjang malam, aku akan terus mencoba untuk tidur selama 11 jam. Pegal juga sih pantat harus duduk.

Oh ya, ketika terbang, aku suka duduk di dekat jendela. Pertama, aku suka sensasi naik turun turbulensi pesawat, kedua, aku senang menyaksikan gumpalan awan alias cotton candy dan menjepretnya dengan ponselku. Tapi, enggak enaknya adalah ketika kebelet pipis di pesawat, dan harus izin di penumpang yang ada di sebelah kita. So, it is your choice.

Perjalanan selama 11 jam aku lewati dengan cara bangun tidur, tidur lagi, bangun lagi, tidur lagi, tanpa gosok gigi dan minum kopi. Benar-benar bosen, padahal udah diisi juga dengan nonton film dan main games di monitor yang ada di depanku. Tapi tetap aja, kalau enggak bisa ke mana-mana, pantat pegel juga. Aku ada saran buat teman-teman yang pergi ke LN untuk menghindari jetlag, buat aku sih berhasil, mungkin kalian bisa coba. Yaitu, jangan pakai jam tangan saat di pesawat. Kalau mau intip jam, cukup intip yang ada di handphone, karena jam di HP itu langsung menyesuaikan waktu di mana kita tinggal. Beda dengan jam di tangan yang harus di set ulang. Enggak tau juga sih apakah jam tangan mahal bisa langsung set waktu secara otomatis, enggak pernah beli jam mahal euy, pakai Casio aja udah bersyukur banget, hahaha.

Daaan... aku seneng banget saat aku liat jam udah pukul 05.00, saat intip jendela, terlihat gumpalan awan dan cahaya matahari terbit. Indah banget guysss langit Eropa. Cerah banget, indah banget saat lihat pegunungan Alpen dari pesawat. Bisa banget buat difoto buat koleksi di instagram. Aku juga tambah deg-degan menantikan kedatanganku di bandara. Bayangin mukanya Jerome saat jemput di bandara sama Paps Bernhard. Badan juga rasanya udah kaku banget pengen cepat-cepat turun dari pesawat dan menghirup udara segar di Swiss. 


Good Morning my Sunshine and Cotton Candy! :)




Pemandangan Pegunungan Alpen dari dalam pesawat, Senin, 29 Agustus 2017


Pesawatku mengalami sedikit keterlambatan. Yang harusnya dijadwalkan tiba pukul 07.15, akhirnya baru nyampe sekitar 08.00. Pertama kali menginjakkan kaki di Zurich International Airport, aku reflek mengucap Alhamdulillahirobilalamin ya Allah... bersyukur bisa menginjak belahan bumi lain dengan selamat dan sehat. 

Langsung aku cari kamar mandi, bersihin muka dan badan ala kadarnya biar enggak kucel-kucel amat saat ketemu calon suami. Eeh, ternyata gara-gara kelamaan di toilet aku ketinggalan dong sama rombongan pesawatku. But i tried to stay cool, karena kalau buru-buru itu enggak baik kan, bikin pikiran berantakan, jadi tenang aja. Ga bakal ilang juga kok kopernya dicuri orang.

Keluar dari toilet, aku tanya ke satpam perempuan yang jaga di sana. Langsung deh ya ala ala ngomong pakai bahasa Inggris gitu. “Excuse me, where I can get my all bags?” . Satpam itu minta aku buat naik kereta bawah tanah, karena itu yang mengantarkan aku buat ambil koper bagasi sekaligus cek di imigrasi. Huwaaaa ternyata masih banyak dong yang antri di sana. Imigrasi dibagi menjadi dua antrean, yakni imigrasi untuk orang yang tinggal di kawasan Uni Eropa (EU), dan untuk umum seluruh negara, yang antreannya puanjang banget. Pas tiba giliranku, aku ditanya sekitar tiga menit. 

Apa tujuanku ke sini, berapa lama akan tinggal di sini, nanti tinggal sama siapa selama di sini, kapan menikah kalau memang tujuannya untuk persiapan nikah?. I was panic before, but i tried to handle it. Aku tatap petugas imigrasi perempuan itu tanpa ragu, ceileeeh... aku jawab aja, “I come here to visit my future husband, Jerome Frick. We would marry in this October, I will live with Mr Bernhard Frick, my future father in law. I would stay here maybe for 6 months first, then I will back to Indonesia with my husband, and stay here for long,” ucapku kurang lebih saat itu. 

Petugas itu lantas menscan pasporku, dia juga bilang congratulations karena aku akan menikah. Setelah diperbolehkan masuk, aku berjalan menuju tempat pengambilan bagasi. Alhamdulillah, antrean untuk ambil bagasi udah enggak ada, dan aku melihat bawaanku bersama 1-3 koper lain yang masih muter-muter. Kuambil bawaanku yang berat totalnya sekitar 26 kilo itu untuk aku bawa ke troli, menuju tempat kedatangan. Aaaaa hati rasanya enggak karuan bayangin muka Jerome and paps, karena udah 5 bulan enggak ketemu.

Keluar dari tempat kedatangan, aku celingukan, Jerome di mana, pikirku. Tiba-tiba, satu orang cowok ganteng, pake blazer n celana warna abu lari ke arahku dan langsung senyum. He hugs me! Ya ampun, itu ternyata Jerome! Huwaaaa ganteng bangetttttt laki gueee,, hahaha sampe agak enggak ngenalin karena selama long distance, kami hanya ngobrol via video call dan telepon. Dan saat ketemu, mukanya enggak lagi begitu chubby, huhuuu i lost my favorite donut cheeks. He looks so happy that time so i am. Paps juga nyamperin aku, he hugs me too, i was really happy! Happy banget. Penantian panjang dan kesabaran akhirnya berbuah manis. Kami pun langsung membawa seluruh barang ke mobilnya paps, menikmati perjalanan menuju rumah mereka, di Riethaldenstrasse 10a, 8266 Steckborn.


Me and my future husband Jerome Frick


Me, my future paps in law Bernhard Frick and Jerome Frick

tempat tinggal Jerome and Paps, Steckborn-Swiss



I am gonna tell you my next story ya... to be continued. Let me take a breath awhile :)

1 comment:

  1. Halo mbak. Maaf saya mau bertanya
    Proses pembuatan visa nya brpa lama? Mbak buat bulan apa dan visa nya keluar di bulan apa??
    Terima kasih.

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Seputar Kawin Campur - Mohon Untuk Tidak Mengirim Email

  Pesan ini benar-benar ingin sekali saya sampaikan kepada para pembaca blog, terutama untuk yang sedang dalam proses mengurus dokumen perni...