Friday, September 8, 2017

Toleransi Agama yang Aku Rasakan di Swiss




Tinggal di Swiss, berarti aku harus siap untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, termasuk perbedaan keyakinan yang aku temui di tengah-tengah keluarga Jey. To be honest, pacarku, Jey lahir di tengah-tengah penganut katolik. Tentu saja nantinya di Desember, aku juga akan merasakan suasana natal di keluarganya.

Namun aku bersyukur Jey menenangkanku dan berkata bahwa keluarganya memiliki toleransi yang cukup tinggi. Salah satunya ketika kakak tertua Jey, Rebecca Frick datang ke rumah 31 Agustus 2017. Dia mengetahui bahwa aku islam dan tidak mengkonsumsi makanan yang dilarang menurut ajaran agamaku. Karena itu saat ia datang, ia membawakanku snack dan makanan yang halal. Saat aku mengatakan bahwa aku dan Jerome akan melaksanakan ibadah salat idul adha pun dia juga happy mendengarkannya.

Hal itu berlanjut dengan kedatangan kakak keduanya, Desiree Frick pada 4 September 2017 bersama suami dan kedua anaknya. Saat awalnya aku, Jerome dan Paps yang diundang ke rumahnya untuk sekedar makan malam dan saling mengenal dengan seluruh keluarganya. Namun karena mobil paps yang mogok, jadwal mendadak diubah dan kami yang menjadi tuan rumah. Saat Desi datang, aku dibawakan bunga indah banget, sayangnya aku lupa apa nama bunganya. Ia juga membawakanku cokelat swiss yang yummy.

Oleh Desi, aku dikenalkan dengan tradisi keluarga makan bersama dengan menu Raclette. Untuk menghidangkan Raclette, bahan-bahan yang diperlukan antara lain kentang rebus, keju, nanas kalengan, paprika, jamur champignon, dan daging asap. Nah, daging ini yang awalnya bikin aku ketar-ketir, karena biasanya mereka lebih sering menggunakan daging babi. Sedangkan aku tak mengkonsumsinya, begitu juga Jerome. Namun ternyata Desi sudah mengetahui bahwa aku tak mengkonsumsi babi, dan ia membawakanku daging ayam asap. Dia juga benar-benar memisahkan tempat yang digunakan untuk meletakkan daging babi dan daging ayam, begitu juga pan kecilnya.

Cara memasaknya pun unik. Keju dipotong2, dimasukkan ke dalam pan kecil dan dipanggang di atas panggangan listrik. Keju pun meleleh, tinggal kita menuangkannya di atas kentang dan memakannya. Yummy sekali. Kalau ingin tambahan “lauk”, tinggal masukkan potongan keju tersebut ditambah daging, jamur, atau paprika dan memanggangnya hingga kejunya meleleh. Karena belum terbiasa mengkonsumsi keju dalam jumlah banyak, baru tiga kali pan keju saja aku sudah merasa kekenyangan. Bayangkan aja, secara selama ini orang Indonesia konsumsi pecel aja udah enak banget dengan ragam bumbu yang aneka ragam, ini cuma keju dipanggang sama paprika, jamur atau daging tanpa bumbu sama sekali, yang bikin kenyang ya kejunya itu.

Menurutku, mereka sama sekali tidak mempermasalahkan perbedaan keyakinanku. Mereka justru begitu respek, dan menanyakan, apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh orang muslim. Aku bilang aja jujur, tidak boleh berhubungan seks di luar nikah, kalau terkena liur anjing harus dibasuh tujuh kali salah satunya dengan menggunakan tanah, dan lain-lain. I know, I am not yet a good muslim. But atleast i am learning day by day to be better person.

Pengalamanku mengenai halal-haram terakhir diuji kemarin, Kamis, 7 September 2017. Selama aku di sini, paps selalu membeli daging kalau enggak sapi ya daging ayam. Yang aku takutkan, kalau paps sebenarnya ingin mengkonsumsi daging babi tapi tidak enak denganku. Tapi ternyata tidak. Saat itu, aku yang biasanya ikut paps jalan-jalan ke Jerman, pilih tunggu di rumah untuk bersih-bersih dan blogging. Nunggu paps lama, aku juga membunuh rasa penat dengan nonton film Harry Potter and The Prisoner of Azkaban. Saking asyiknya mungkin ya, aku sampai ketiduran, dan baru bangun sekitar pukul 16.00 WIB.

Aku bener-bener shock, karena aku yang biasanya masak untuk kami bertiga. Saat berlari ke dapur, ternyata paps udah enjoy masak beberapa menu yang tentu aja bener-bener asing buat aku. Pertama, salad olive, kedua pasta jamur champignon untuk fettucini. Paps juga masih memiliki dua bungkus seperti potongan daging ayam, dan satunya.... berwarna putih, masih terbungkus dalam wadah transparan, yang ternyata adalah daging babi. Aku sempat deg-degan juga ya, ini gimana kalau sampai pan nya tercampur dan sebagainya.

Alhamdulillah dong, i really would say thanks to God. Because I believe when we ask, then He will make easier. Tiba-tiba papa bilang pakai bahasa jerman, yang kira-kira intinya gini,” Daging ayam ini buat kamu dan Jerome, dimasak di pan besar ini. Dan ini, daging babi, buat saya, masaknya di sini. Separated,” kata Paps.

Aku benar-benar bersyukur banget memiliki calon mertua yang benar-benar baik dan pengertian seperti Paps. I sometimes think, what i have done in life so I can get this many happiness things. Ketemu cowo ganteng, hatinya baik, papanya baik, keluarganya juga baik, semoga ini tidak menjadikanku sebagai pribadi yang senantiasa bersyukur menghargai berkah dan terhindar dari sifat sombong.

Paps juga senang mengkonsumsi wine. Ketika aku menemaninya ke Jerman, ia pasti selalu membeli sampai lima botol wine untuk diminum saat kami bersama menyantap hidangan di meja makan. Meski ia mengetahui Jerome tak mengkonsumsi wine apalagi aku, saat kami menyiapkan meja untuk makan malam, paps selalu membawakan kami berdua equil water non alcohol dari gudang. “It is for you and Jerome,” tuturnya.

Itu ceritaku tentang halal dan haram di keluarga Frick ya. Intinya, aku bersyukur banget, di dalam keluarga ini tidak ada sama sekali tekanan dan justru mereka benar-benar menghargai keberadaanku di sini, dan mereka juga memperlakukan aku seperti istilahnya memanusiakan manusia. Kalau saja non muslim menghargai muslim dan memperlakukannya dengan baik, kenapa kita yang muslim kadang mudah banget kesulut isu enggak jelas dan mengatakan agama lain itu enggak baik dan lalalala? Weeeitss aku enggak mau debat di sini. Karena menurut aku, lebih baik memandang orang dari pribadi mereka saja, bukan dari agamanya. Terlepas mau orang lain pilih agama apa, itu urusan mereka. Bukankah kalau kita sebagai umat muslim tapi punya hati yang kotor juga akan dihisap amalnya untuk diketahui berhak tidaknya mereka masuk surga, atau justru dijebloskan ke neraka? So, for me, better silent, and keep improving ourself with good things only.

To be Continued


Thursday, September 7, 2017

Hari Pertamaku di Steckborn, Swiss


Selfie di eichhölzli , spot terbaik melihat pemandangan Bodensee di Steckborn



Aku pertama kali menginjakkan kaki di Swiss pada Senin, 29 Agustus 2017, setelah pacarku Jerome Frick, dan paps Bernhard Ewald Frick menjemputku di Bandara International Zurich pagi harinya. Usai pesawat tiba pukul 08.00, atau terlambat satu jam dari perkiraan, aku harus melewati imigrasi untuk dapat mengambil koper bawaanku. Ada untungnya ketika kita terakhir mendatangi imigrasi, karena kita tidak perlu berdesak-desakan saat mengambil koper di tempat pengambilan barang dari bagasi.

Usai mendorong kelima tas ku dengan troli, aku berjalan keluar menuju tempat kedatangan, sambil celingukan mencari Jerome. Dan voalaaa, cowo ganteng berjaket abu datang menghampiriku sambil senyum n ketawa bahagia (kayaknya sih bahagia hahaha). He hugged me so tight so did I, it was beautiful moment ever. Aku seneng banget. Terlebih saat paps juga mendatangiku dan memelukku. Berasa ketemu sama bokap sendiri. Aku benar-benar bahagia. Kami langsung berjalan menuju mobil dan Jerome mendorong bawaanku untuk dimasukkan ke bagasi mobil.

Paps duduk di bagian depan. Sedangkan aku dan Jerome duduk di jok belakang. Bukannya enggak ngehargai paps yaa, katanya dia kangen sama gue, pengen duduk di belakang makanya. Hahaha yaudah, aku mah ngikut aja. Perjalanan pun berlangsung menyenangkan. Kami bercerita, paps bertanya kepadaku dalam bahasa Swiss-Jerman, dan Jerome menerjemahkannya ke bahasa Inggris. Ketika aku ngasih feedback dalam bahasa Inggris ala kadarnya, Jerome kembali nerjemahin kata-kataku ke bahasa Swiss-Jerman ke Paps. Aku begitu takjub menyaksikan betapa indahnya pemandangan Spenjang Zurich menuju Steckborn. Gilaaaaaa indah bangetttt. Ini luas banget dan enggak banyak bangunan tinggi kaya di Jakarta. Tanah kosong pun ditanami sama tumbuhan hijau agar sapi bisa makan rumput di situ. Sedangkan lahan lainnya ditanami pohon apel dan pear serta anggur. Indah banget. Gue katrok... melongo sepanjang jalan tengok kanan kiri, semuanya tertata rapi.



Selfie pertama dengan Paps n Jerome di eichhölzli



 Kami sejenak berhenti di eichhölzli untuk melihat view Steckborn dari atas. Di sana kami juga pertama kali melakukan wefie sebelum akhirnya perjalanan kembali dilanjutkan ke rumah. 

 
Sesampainya di rumah, aku meletakkan barang-barang bawaanku ke lemari. Jerome juga menyiapkan kamar khusus untukku beserta meja kerja dan lemari. Sayangnya paps tidak bisa lama-lama di rumah, karena harus berangkat ke Jerman untuk mengambil barang untuk keperluan online shopnya di kantor pos sana. Oh ya, Jerome juga punya anjing lucu banget, warnanya putih, jenisnya maltese. Namanya Violetta.

Akhirnya di hari pertamaku di Jerman hanya aku habiskan bersama Jerome, jalan-jalan di sekitaran Steckborn, ke danau Bodensee, ke toko jus apel milik temannya, Beni, serta ziarah ke makam mamanya Jerome, Zitta Frick. Kata Jerome, aku datang di Swiss di waktu yang tepat, yakni pas musim summer, di mana bunga-bunga lagi mekar dan suasana juga enggak begitu dingin. Karena saat nanti musim gugur dimulai, cuaca bakal dingin banget. Apalagi saat musim salju datang di bulan Desember, suhu bisa mencapai minus nol derajad.


Jalan-jalan keliling Steckborn





Di Swiss itu banyak banget jenis-jenis bunga. Semuanya indaaaah banget. Tapi aku herannya, kok beda banget ya sama di Indonesia. Di sini, setiap bunga itu mekar bebas di depan rumah tanpa dipagari. Tapi enggak ada tuh tangan usil yang sampai tega metik bunga-bunga itu. Sense mereka akan keindahan dan estetika tinggi kali ya, makanya mereka enggak mau nakal ambil-ambil bunga sembarangan kalau dipandang aja udah bikin ati seneng. Beda lah ya sama di Indonesia. Apalagi kalau ada persitiwa penting, biasanya kan bunga-bunga cantik ditaruh tuh di sekeliling bundaran HI, eh abis acara bubar, rusak tuh bunga-bunga. Mungkin kita harus sama-sama belajar dari orang Swiss kali ya tentang pentingnya menjaga tanaman terlebih bunga. Ya paling tidak nih ya, setelah orang Jakarta sibuk dan stress dengan segala aktivitasnya di kantor, belum lagi pulang harus melawan kemacetan, tapi nyampai rumah masih bisa sedikit terobati dengan melihat bunga-bunga bermekaran. Mungkin hal ini bisa loh dicoba, nanam-nanam bunga di halaman rumah.


Bunga Daffodil, penanda datangnya musim semi. Captured by me, copyright reserved.





Swiss rasa Jepang, berfoto di bawah pohon yang sedang bersemi







Bunga Tulip tumbuh subur hampir di setiap pekarangan rumah


 

Oh ya, aku pernah mendengar istilah kantin kejujuran di Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK. Kata teman-teman wartawan yang pernah ngepos di sana, kantin itu tidak ada yang jaga, dan hal ini juga dilakukan untuk mengetes kejujuran orang-orang yang membelinya. Hal itu juga terjadi di Swiss. Salah satu contohnya adalah warung kecil milik keluarga Wieland. Beni Wieland adalah teman dekat Jerome Frick. Keluarganya memiliki beberapa cabang usaha, salah satunya adalah jus apel yang dikelola oleh ibunya Beni. Jus apel milik keluarga Beni itu langsung diolah dari hasil panen apel di kebun mereka. Setelah apel dipetik, dicuci, kemudian diambil sarinya dan dituang dalam galon kaca.

Air apel dalam galon kaca itulah yang kemudian dijual dalam sebuah warung kecil tak berpenghuni. Sebelum mengunjungi makam mama Zitta, untuk pertama kalinya aku mampir ke warung jus itu. Aku lihat Jerome ngambil satu botol kosong seukuran 1,5 liter kaya botol Coke, langsung menaruh botol itu di selang galon kaca. “You can also choose apples you like, i will pay it here,” ujar Jerome. Aku nanya balik,” Where is seller who keep this store? Where do you gonna pay your money?”





Jerome lantas ambil beberapa koin sejumlah 2 CHF lebih (sekitar Rp 29.000) dan menaruhnya ke dalam kotak celengan kecil. “Here,” ucapnya sambil masukin duit itu ke kotak. Dia juga ambil enam buah apel dan memasukkannya ke dalam tas. “Don’t worry, I paid it all,” kata Jerome lagi. Gila yaa, semurah hatinya itu keluarganya Beni kalau misal (memang) ada maling. Dan hal itu memang sering terjadi. Kata Jerome, sering anak-anak kecil mendatangi warung itu, mengambil jus tanpa membayarnya. Kan gila guysss... ya sekali lagi, kalau bisa ambil sisi positifnya, hal-hal kaya gini bisa ngajarin kita untuk melatih diri, tinggal pilih, mau jadi orang jujur atau tukang bohong kaya koruptor.

Hari pertamaku di Swiss juga diisi dengan mengunjungi danau Konstanz, atau juga bisa disebut dengan nama Bodensee. Cuaca yang cerah membuat orang-orang mendatangi danau untuk berenang atau sekedar duduk menikmati pemandangan. And you know what, air sekitar danau itu beningggg banget. Super duper bening. Karena apa? Orang-orang di sini sadar akan pentingnya kebersihan lingkungan dan air. Buktinya? Mereka memberikan tong sampah besar di setiap spot yang banyak dikunjungi orang, yang terbagi menjadi tiga, yakni tong sampah untuk kaleng, untuk plastik, dan organik. Ya gitulah akhirnya, kalau orang sama-sama sadar pengen lingkungannya indah, mereka pasti juga enggak pengen berbuat hal-hal yang bikin wilayahnya kotor n keindahannya terganggu.


Satu lagi yang bikin aku melongohhhh abis di sini, saat aku melewati pancuran air di situ ada tulisan “trinkwasser” yang artinya air yang mancur itu bisa diminum. Whuatttt? Air keran di pinggir jalan bisa diminum? Iyess Bisa. Kata Jerome, air itu pure mengalir dari gunung yang tidak terkontaminasi kuman-kuman karena memang alam di Swiss yang masih asri. Gila dong yaaa guyss kalo di Indonesia, terlebih di Jakarta, air galon aja beli mahal. Kalau ambil dari sumur harus dimasak dulu. Tapi di Swiss enggak.

Aku aja nih ya, kan enggak terlalu suka equil water. Jadi kalau lagi dinner sama Jerome and paps, aku selalu ambil air minum dari wastafel, tanpa dimasak, langsung aja gitu diminum. Seger gila kaya air galonan. Sekali lagi, sistem. Setiap tempat, setiap negara punya sistem yang beda-beda dalam mengatur komunitas yang ada di dalamnya. Selama ini, aku masih enjoy dengan sistem yang ada di Swiss dalam hal konsumsi ya. Mereka memang memberlakukan biaya listrik dan air pegunungan yang mahal. Tapi hal itu worth it, sebanding dengan apa yang mereka lakukan untuk senantiasa menjaga dan selaras dengan alam. Terima kasih Swiss, belum seminggu di Sini kamu udah ngajarin aku banyak hal.



To be continued... :)


My Journey to be In Swiss


Cerita ini akan aku mulai dari awal perjalanan dari Jakarta ya. Hari itu, 28 Agustus 2017, aku telah siap dengan lima tas bawaanku, yakni koper biru besar, dua tas warna hitam berisi pakaian dan beberapa perlengkapan, satu ransel biru berisi dua buah laptop, dan satu tas jinjing perempuan untuk powerbank dan alat kosmetikku. “I am ready to leave Jakarta,” ucapku saat itu. 


All my bags are packed and i am ready to go. :)



Waktu menunjukkan pukul 11.00, saat itu salah satu teman dekatku, Sabrina, wartawan dari Republika konfirmasi kalau dia mau anter aku ke bandara Soekarno Hatta sepulang liputan. “Gpp sis tar ak anter. Ga enak pindahan dewean iku sis. Eh, kamu tak datengin jam brp di kosan?” kata dia.

Aku bilang, aku berangkat jam 14.00 WIB ke bandara. Tapi jujur aku merasa berat kalau dia ikut nganter, karena aku yakin, nanti kalau aku check in, bakalan nangis pisah sama dia. Sabrina dan aku kenal tak cukup lama, namun karena kami berdua sama-sama orang Jawa, dan kadang sering curhat, kami jadi dekat. Tapi dia tetap mau antar, karena kebetulan liputannya juga baru selesai. “Ini udh slese liputan. Lg makan nasi kotak. Hehe. Yowes tar abis ini ak ke sana,” tuturnya.

Sebelum jam 14.00, Sabrina udah sampai di kost aku. Dia menyempatkan diri untuk salat dhuhur di sana sebelum akhirnya kami berangkat menggunakan Go Car. Tiket pesawat sudah di tangan. Saat itu aku dijadwalkan naik pesawat Thai Airways dengan nomor penerbangan TG436 dengan rute Jakarta-Bangkok di Terminal 2E Gate D6 dengan waktu boarding 18.15 WIB. Aku duduk di seat nomor 46K.

Setelah pesawat transit di Bandara Svarnabhumi Bangkok selama tiga jam, perjalananku akan dilanjutkan dengan pesawat Thai Airways dengan nomor penerbangan TG970, dengan rute Bangkok-Zurich dan waktu boarding pukul 00.25 waktu Bangkok. Di pesawat itu, aku duduk di seat 51 A. 


I was ready to go to Swiss! Take me away Thai Airways :)


Menjelang waktu check in, aku dikejutkan dengan kedatangan salah satu temanku, Avit Hidayat. Dia adalah salah satu teman terbaikku ketika aku masih bekerja di Tempo. Sedih rasanya saat itu harus pisah, karena di saat-saat terakhir aku di Jakarta, Avitlah yang selalu memberiku dukungan ketika teman-teman lain menjauh tanpa alasan. Di saat orang lain dengan sok taunya menilaiku dan memperlakukanku layaknya orang yang tak pantas diajak berteman (seriously but I feel this), Avitlah yang membelaku dan menjadi pendengar yang baik. But i think this is not the story I shoulf tell... haha. So, saat itu aku bilang ke Avit, tetap semangat jadi wartawan, tetap semangat nulis, kejar cita-citanya, dan jangan lupa sama aku. Avit juga kasih wejangan, untuk selalu berkabar.


Teman-temanku, Avit Hidayat (wartawan Tempo) dan Sabrina (wartawan Republika)


Waktu terbang pun datang, aku benar-benar harus mengucapkan good bye untuk dua temanku, Sabrina dan Avit. Jelas sekali aku melihat Sabrina nangis. Hahaha padahal dia bilanh sebelumnya,” Enggaklah... ngapain juga nangis sis, paling tar kamu yang nangis,” ucapnya. Nyatanya, kebalik, dia yang sedih. Hahaha cup cup Sabrina, tar kita ketemu lagi...


***

Aku melangkahkan kakiku menuju pesawat. My future hubby, Jerome Frick pinter banget milihin seat buat aku yang ternyata ada di tengah dan tepat dibelakang seat merupakan sekat sehingga aku bisa melonggarkan seat ku di sana. Apalagi kursi yang berjajar untuk tiga orang (46 K, 46 L, dan 46 M) hanya diduduki dua orang, sehingga aku bisa meletakkan tasku di kursi tengah. Aku duduk bersama seorang nenek yang bertolak ke Osaka, Jepang dan transit di Bangkok juga. 

Pelayanan di Thai Airways begitu menyenangkan. Hahaha mungkin juga aku yang norak karena baru sekali pergi ke luar negeri. Enggak papa yah, aku share aja, bukan sebagai promo, tapi di Thai Airways saya benar-benar dimanjakan dengan menu makanannya yang Asia banget dan halal dengan cita rasa khas Thailand. Tiga jam di pesawat menuju Bangkok rasanya singkat. Aku sengaja tak memejamkan mataku karena aku ingin menghabiskan waktu tidurku di penerbangan berikutnya yang jauh lebih panjang. Di pesawat aku melihat film yang pernah aku lihat bersama Jerome sewaktu di Jakarta, aiiiihhh.... Beauty and The Beast sambil menghabiskan menu dinnerku. Bener-bener enjoyable di pesawat. Kadang aku juga ngobrol dengan nenek yang duduk di sebelahku tentang tujuan perjalananku, apa yang akan kami lakukan usai sampai di tempat tujuan, dan sebagainya. Sesekali pramugara pesawat mendatangi kami, menawarkan minuman, dessert, dan lain-lain. Pokoknya kelas ekonomi berasa kelas bisnis deh kalau naik pesawat berwarna ungu ini.

Oh ya, sekedar informasi (buat yang baru sekali ke luar negeri kaya aku), kalau hanya transit, kita tidak perlu cap visa di imigrasi. Jadi, saat beragkat dari Bandara Soetta, kita dapat cap sekali sebagai tanda kita dapat allowance keluar dari Indonesia. Sesampainya di Bangkok, atau Dubai, kita hanya perlu ke tempat transit untuk penerbangan selanjutnya tanpa harus cek imigrasi. Kalaupun ingin membeli makanan di Bandara tempat transit, kalian bisa membeli di area bandara tanpa perlu pemeriksaan imigrasi.

Saran lainnya ketika kalian mau travel ke luar negeri dengan harus transit, pilihlah jarak waktu dengan penerbangan berikutnya minimal 3 jam. Jangan pilih waktu mepet hanya satu jam. Ini dilakukan karena terkadang pesawat pertama yang kita tumpangi terkena delay, sehingga ditakutkan kita tidak punya cukup waktu untuk ke penerbangan selanjutnya. Hal ini dialami oleh nenek yang duduk di sebelah aku (lupa namanya), yang hanya punya waktu 30 menit untuk ke penerbangan selanjutnya, karena pesawat tiba di Bangkok terlambat 45 menit. Saya enggak tahu gimana nasib nenek itu, karena di tiket juga tertulis “Gate Closes 10 Minutes before Departure”. Dan di Bandara Svarnabhumi Bangkok itu, untuk menuju ke lokasi transit kita harus berjalan sekitar 700 meter (bandaranya luas banget), belum harus antre dan melewati pemeriksaan keselamatan penerbangan.

Pemeriksaan di Bandara Svarnabhumi juga benar-benar ketat. Memasuki transit, yang harus dipersiapkan adalah paspor dan tiket (selalu siapkan dua hal ini di saku tas paling depan). Paspor itu layaknya KTP luar negeri. Sehingga saat kalian bepergian ke luar negeri, cukup simpan KTP di dompet, karena yang diperlukan adalah paspor. Saat memasuki pemeriksaan, aku diminta untuk melepas jaket, ikat pinggang, layaknya pemeriksaan keamanan pada umumnya. Namun karena pemeriksaan yang ketat, aku juga disuruh membongkar tas ransel biruku yang berisi laptop beserta isinya, serta melepas sepatu bootku.

Ikuti saja aturannya, karena ini demi keamanan bersama. Untuk pemeriksaan ini, sebagai informasi jangan membawa benda cair entah berupa gel, air mineral dan bentuk cair lainnya dengan ukuran lebih dari 100 ml, kalau kalian tak mau kena masalah di bandara. Kalau kalian memang mau bawa benda-benda itu, kalian bisa memasukkannya ke koper bagasi, dijamin barang aman. Mengenai pengalaman ini, aku sempat melihat seorang ibu-ibu dari China menangis saat mengetahui sabun cuci mukanya yang mahal enggak bisa dibawa terbang karena ukurannya sekitar 150 ml. Bahkan saat ia bilang,” Can I use this first by go to bathroom and give it back to you?” petugas bilang,”NO”. Makanya, jangan bawa dirimu dalam masalah ya, enjoy the flight without problem.

Aku lupa di Gate mana aku transit untuk penerbangan ke Zurich. Tapi untuk setiap transit, sampai di bandara aku sarankan kalian untuk menuju ke petugas, di Gate mana kalian transit untuk penerbangan selanjutnya. Sehingga kalian tak perlu takut bakal ketinggalan pesawat. Di bandara sebenarnya juga tersedia wifi yang bisa diakses gratis oleh penumpang. 

Sayangnya di sana tidak cukup informasi mengenai hal ini. Di Svarnabhumi meski ada wifi gratis, namun tak ada flyer atau petunjuk yang menginformasikan password dan username untuk akses internet di Gate transitku. Apalagi saat itu menunjukkan 23.45 dan tak terlihat satupun petugas yang jaga sehingga akupun hanya bisa duduk mendengarkan musik sampai waktu terbangku ke Zurich tiba. 

Pukul 00.45, waktu boarding menuju Zurich tiba. Setelah penumpang bisnis diminta masuk terlebih dahulu menuju pesawat, giliran penumpang kelas ekonomi yang masuk, termasuk aku. Pesawat Thai Airways itu berbadan besar, aku enggak tahu jenisnya apa, tapi dalam setiap baris kelas ekonomi, ada 9 orang yang duduk yang terbagi dalam tiga baris dan dua sekat. Aku duduk bersama satu orang pria sepertinya berasal dari timur tengah dan satunya perempuan berasal dari China. Tak seperti penerbangan sebelumnya, aku tak akrab dengan keduanya. Sialnya, kursi yang aku duduki stucked, sehingga tak bisa dilonggarkan ke belakang. Tapi tak apa, karena perjalanan akan dilakukan sepanjang malam, aku akan terus mencoba untuk tidur selama 11 jam. Pegal juga sih pantat harus duduk.

Oh ya, ketika terbang, aku suka duduk di dekat jendela. Pertama, aku suka sensasi naik turun turbulensi pesawat, kedua, aku senang menyaksikan gumpalan awan alias cotton candy dan menjepretnya dengan ponselku. Tapi, enggak enaknya adalah ketika kebelet pipis di pesawat, dan harus izin di penumpang yang ada di sebelah kita. So, it is your choice.

Perjalanan selama 11 jam aku lewati dengan cara bangun tidur, tidur lagi, bangun lagi, tidur lagi, tanpa gosok gigi dan minum kopi. Benar-benar bosen, padahal udah diisi juga dengan nonton film dan main games di monitor yang ada di depanku. Tapi tetap aja, kalau enggak bisa ke mana-mana, pantat pegel juga. Aku ada saran buat teman-teman yang pergi ke LN untuk menghindari jetlag, buat aku sih berhasil, mungkin kalian bisa coba. Yaitu, jangan pakai jam tangan saat di pesawat. Kalau mau intip jam, cukup intip yang ada di handphone, karena jam di HP itu langsung menyesuaikan waktu di mana kita tinggal. Beda dengan jam di tangan yang harus di set ulang. Enggak tau juga sih apakah jam tangan mahal bisa langsung set waktu secara otomatis, enggak pernah beli jam mahal euy, pakai Casio aja udah bersyukur banget, hahaha.

Daaan... aku seneng banget saat aku liat jam udah pukul 05.00, saat intip jendela, terlihat gumpalan awan dan cahaya matahari terbit. Indah banget guysss langit Eropa. Cerah banget, indah banget saat lihat pegunungan Alpen dari pesawat. Bisa banget buat difoto buat koleksi di instagram. Aku juga tambah deg-degan menantikan kedatanganku di bandara. Bayangin mukanya Jerome saat jemput di bandara sama Paps Bernhard. Badan juga rasanya udah kaku banget pengen cepat-cepat turun dari pesawat dan menghirup udara segar di Swiss. 


Good Morning my Sunshine and Cotton Candy! :)




Pemandangan Pegunungan Alpen dari dalam pesawat, Senin, 29 Agustus 2017


Pesawatku mengalami sedikit keterlambatan. Yang harusnya dijadwalkan tiba pukul 07.15, akhirnya baru nyampe sekitar 08.00. Pertama kali menginjakkan kaki di Zurich International Airport, aku reflek mengucap Alhamdulillahirobilalamin ya Allah... bersyukur bisa menginjak belahan bumi lain dengan selamat dan sehat. 

Langsung aku cari kamar mandi, bersihin muka dan badan ala kadarnya biar enggak kucel-kucel amat saat ketemu calon suami. Eeh, ternyata gara-gara kelamaan di toilet aku ketinggalan dong sama rombongan pesawatku. But i tried to stay cool, karena kalau buru-buru itu enggak baik kan, bikin pikiran berantakan, jadi tenang aja. Ga bakal ilang juga kok kopernya dicuri orang.

Keluar dari toilet, aku tanya ke satpam perempuan yang jaga di sana. Langsung deh ya ala ala ngomong pakai bahasa Inggris gitu. “Excuse me, where I can get my all bags?” . Satpam itu minta aku buat naik kereta bawah tanah, karena itu yang mengantarkan aku buat ambil koper bagasi sekaligus cek di imigrasi. Huwaaaa ternyata masih banyak dong yang antri di sana. Imigrasi dibagi menjadi dua antrean, yakni imigrasi untuk orang yang tinggal di kawasan Uni Eropa (EU), dan untuk umum seluruh negara, yang antreannya puanjang banget. Pas tiba giliranku, aku ditanya sekitar tiga menit. 

Apa tujuanku ke sini, berapa lama akan tinggal di sini, nanti tinggal sama siapa selama di sini, kapan menikah kalau memang tujuannya untuk persiapan nikah?. I was panic before, but i tried to handle it. Aku tatap petugas imigrasi perempuan itu tanpa ragu, ceileeeh... aku jawab aja, “I come here to visit my future husband, Jerome Frick. We would marry in this October, I will live with Mr Bernhard Frick, my future father in law. I would stay here maybe for 6 months first, then I will back to Indonesia with my husband, and stay here for long,” ucapku kurang lebih saat itu. 

Petugas itu lantas menscan pasporku, dia juga bilang congratulations karena aku akan menikah. Setelah diperbolehkan masuk, aku berjalan menuju tempat pengambilan bagasi. Alhamdulillah, antrean untuk ambil bagasi udah enggak ada, dan aku melihat bawaanku bersama 1-3 koper lain yang masih muter-muter. Kuambil bawaanku yang berat totalnya sekitar 26 kilo itu untuk aku bawa ke troli, menuju tempat kedatangan. Aaaaa hati rasanya enggak karuan bayangin muka Jerome and paps, karena udah 5 bulan enggak ketemu.

Keluar dari tempat kedatangan, aku celingukan, Jerome di mana, pikirku. Tiba-tiba, satu orang cowok ganteng, pake blazer n celana warna abu lari ke arahku dan langsung senyum. He hugs me! Ya ampun, itu ternyata Jerome! Huwaaaa ganteng bangetttttt laki gueee,, hahaha sampe agak enggak ngenalin karena selama long distance, kami hanya ngobrol via video call dan telepon. Dan saat ketemu, mukanya enggak lagi begitu chubby, huhuuu i lost my favorite donut cheeks. He looks so happy that time so i am. Paps juga nyamperin aku, he hugs me too, i was really happy! Happy banget. Penantian panjang dan kesabaran akhirnya berbuah manis. Kami pun langsung membawa seluruh barang ke mobilnya paps, menikmati perjalanan menuju rumah mereka, di Riethaldenstrasse 10a, 8266 Steckborn.


Me and my future husband Jerome Frick


Me, my future paps in law Bernhard Frick and Jerome Frick

tempat tinggal Jerome and Paps, Steckborn-Swiss



I am gonna tell you my next story ya... to be continued. Let me take a breath awhile :)

Seputar Kawin Campur - Mohon Untuk Tidak Mengirim Email

  Pesan ini benar-benar ingin sekali saya sampaikan kepada para pembaca blog, terutama untuk yang sedang dalam proses mengurus dokumen perni...