Cerita ini akan aku
mulai dari awal perjalanan dari Jakarta ya. Hari itu, 28 Agustus
2017, aku telah siap dengan lima tas bawaanku, yakni koper biru
besar, dua tas warna hitam berisi pakaian dan beberapa perlengkapan,
satu ransel biru berisi dua buah laptop, dan satu tas jinjing
perempuan untuk powerbank dan alat kosmetikku. “I am ready to leave
Jakarta,” ucapku saat itu.
|
All my bags are packed and i am ready to go. :) |
Waktu menunjukkan
pukul 11.00, saat itu salah satu teman dekatku, Sabrina, wartawan
dari Republika konfirmasi kalau dia mau anter aku ke bandara Soekarno
Hatta sepulang liputan. “Gpp sis tar ak anter. Ga enak pindahan
dewean iku sis. Eh, kamu tak datengin jam brp di kosan?” kata dia.
Aku bilang, aku
berangkat jam 14.00 WIB ke bandara. Tapi jujur aku merasa berat kalau
dia ikut nganter, karena aku yakin, nanti kalau aku check in, bakalan
nangis pisah sama dia. Sabrina dan aku kenal tak cukup lama, namun
karena kami berdua sama-sama orang Jawa, dan kadang sering curhat,
kami jadi dekat. Tapi dia tetap mau antar, karena kebetulan
liputannya juga baru selesai. “Ini udh slese liputan. Lg makan nasi
kotak. Hehe. Yowes tar abis ini ak ke sana,” tuturnya.
Sebelum jam 14.00,
Sabrina udah sampai di kost aku. Dia menyempatkan diri untuk salat
dhuhur di sana sebelum akhirnya kami berangkat menggunakan Go Car.
Tiket pesawat sudah di tangan. Saat itu aku dijadwalkan naik pesawat
Thai Airways dengan nomor penerbangan TG436 dengan rute
Jakarta-Bangkok di Terminal 2E Gate D6 dengan waktu boarding 18.15
WIB. Aku duduk di seat nomor 46K.
Setelah pesawat
transit di Bandara Svarnabhumi Bangkok selama tiga jam, perjalananku
akan dilanjutkan dengan pesawat Thai Airways dengan nomor penerbangan
TG970, dengan rute Bangkok-Zurich dan waktu boarding pukul 00.25
waktu Bangkok. Di pesawat itu, aku duduk di seat 51 A.
|
I was ready to go to Swiss! Take me away Thai Airways :) |
Menjelang waktu check
in, aku dikejutkan dengan kedatangan salah satu temanku, Avit
Hidayat. Dia adalah salah satu teman terbaikku ketika aku masih
bekerja di Tempo. Sedih rasanya saat itu harus pisah, karena di
saat-saat terakhir aku di Jakarta, Avitlah yang selalu memberiku
dukungan ketika teman-teman lain menjauh tanpa alasan. Di saat orang
lain dengan sok taunya menilaiku dan memperlakukanku layaknya orang
yang tak pantas diajak berteman (seriously but I feel this), Avitlah
yang membelaku dan menjadi pendengar yang baik. But i think this is
not the story I shoulf tell... haha. So, saat itu aku bilang ke Avit,
tetap semangat jadi wartawan, tetap semangat nulis, kejar
cita-citanya, dan jangan lupa sama aku. Avit juga kasih wejangan,
untuk selalu berkabar.
|
Teman-temanku, Avit Hidayat (wartawan Tempo) dan Sabrina (wartawan Republika) |
Waktu terbang pun
datang, aku benar-benar harus mengucapkan good bye untuk dua temanku,
Sabrina dan Avit. Jelas sekali aku melihat Sabrina nangis. Hahaha
padahal dia bilanh sebelumnya,” Enggaklah... ngapain juga nangis
sis, paling tar kamu yang nangis,” ucapnya. Nyatanya, kebalik, dia
yang sedih. Hahaha cup cup Sabrina, tar kita ketemu lagi...
***
Aku melangkahkan
kakiku menuju pesawat. My future hubby, Jerome Frick pinter banget
milihin seat buat aku yang ternyata ada di tengah dan tepat
dibelakang seat merupakan sekat sehingga aku bisa melonggarkan seat
ku di sana. Apalagi kursi yang berjajar untuk tiga orang (46 K, 46 L,
dan 46 M) hanya diduduki dua orang, sehingga aku bisa meletakkan
tasku di kursi tengah. Aku duduk bersama seorang nenek yang bertolak
ke Osaka, Jepang dan transit di Bangkok juga.
Pelayanan di Thai
Airways begitu menyenangkan. Hahaha mungkin juga aku yang norak
karena baru sekali pergi ke luar negeri. Enggak papa yah, aku share
aja, bukan sebagai promo, tapi di Thai Airways saya benar-benar
dimanjakan dengan menu makanannya yang Asia banget dan halal dengan
cita rasa khas Thailand. Tiga jam di pesawat menuju Bangkok rasanya
singkat. Aku sengaja tak memejamkan mataku karena aku ingin
menghabiskan waktu tidurku di penerbangan berikutnya yang jauh lebih
panjang. Di pesawat aku melihat film yang pernah aku lihat bersama
Jerome sewaktu di Jakarta, aiiiihhh.... Beauty and The Beast sambil
menghabiskan menu dinnerku. Bener-bener enjoyable di pesawat. Kadang
aku juga ngobrol dengan nenek yang duduk di sebelahku tentang tujuan
perjalananku, apa yang akan kami lakukan usai sampai di tempat
tujuan, dan sebagainya. Sesekali pramugara pesawat mendatangi kami,
menawarkan minuman, dessert, dan lain-lain. Pokoknya kelas ekonomi
berasa kelas bisnis deh kalau naik pesawat berwarna ungu ini.
Oh ya, sekedar
informasi (buat yang baru sekali ke luar negeri kaya aku), kalau
hanya transit, kita tidak perlu cap visa di imigrasi. Jadi, saat
beragkat dari Bandara Soetta, kita dapat cap sekali sebagai tanda
kita dapat allowance keluar dari Indonesia. Sesampainya di Bangkok,
atau Dubai, kita hanya perlu ke tempat transit untuk penerbangan
selanjutnya tanpa harus cek imigrasi. Kalaupun ingin membeli makanan
di Bandara tempat transit, kalian bisa membeli di area bandara tanpa
perlu pemeriksaan imigrasi.
Saran lainnya ketika
kalian mau travel ke luar negeri dengan harus transit, pilihlah jarak
waktu dengan penerbangan berikutnya minimal 3 jam. Jangan pilih waktu
mepet hanya satu jam. Ini dilakukan karena terkadang pesawat pertama
yang kita tumpangi terkena delay, sehingga ditakutkan kita tidak
punya cukup waktu untuk ke penerbangan selanjutnya. Hal ini dialami
oleh nenek yang duduk di sebelah aku (lupa namanya), yang hanya punya
waktu 30 menit untuk ke penerbangan selanjutnya, karena pesawat tiba
di Bangkok terlambat 45 menit. Saya enggak tahu gimana nasib nenek
itu, karena di tiket juga tertulis “Gate Closes 10 Minutes before
Departure”. Dan di Bandara Svarnabhumi Bangkok itu, untuk menuju ke
lokasi transit kita harus berjalan sekitar 700 meter (bandaranya luas
banget), belum harus antre dan melewati pemeriksaan keselamatan
penerbangan.
Pemeriksaan di
Bandara Svarnabhumi juga benar-benar ketat. Memasuki transit, yang
harus dipersiapkan adalah paspor dan tiket (selalu siapkan dua hal
ini di saku tas paling depan). Paspor itu layaknya KTP luar negeri.
Sehingga saat kalian bepergian ke luar negeri, cukup simpan KTP di
dompet, karena yang diperlukan adalah paspor. Saat memasuki
pemeriksaan, aku diminta untuk melepas jaket, ikat pinggang, layaknya
pemeriksaan keamanan pada umumnya. Namun karena pemeriksaan yang
ketat, aku juga disuruh membongkar tas ransel biruku yang berisi
laptop beserta isinya, serta melepas sepatu bootku.
Ikuti saja
aturannya, karena ini demi keamanan bersama. Untuk pemeriksaan ini,
sebagai informasi jangan membawa benda cair entah berupa gel, air
mineral dan bentuk cair lainnya dengan ukuran lebih dari 100 ml,
kalau kalian tak mau kena masalah di bandara. Kalau kalian memang mau
bawa benda-benda itu, kalian bisa memasukkannya ke koper bagasi,
dijamin barang aman. Mengenai pengalaman ini, aku sempat melihat
seorang ibu-ibu dari China menangis saat mengetahui sabun cuci
mukanya yang mahal enggak bisa dibawa terbang karena ukurannya
sekitar 150 ml. Bahkan saat ia bilang,” Can I use this first by go
to bathroom and give it back to you?” petugas bilang,”NO”.
Makanya, jangan bawa dirimu dalam masalah ya, enjoy the flight
without problem.
Aku lupa di Gate
mana aku transit untuk penerbangan ke Zurich. Tapi untuk setiap
transit, sampai di bandara aku sarankan kalian untuk menuju ke
petugas, di Gate mana kalian transit untuk penerbangan selanjutnya.
Sehingga kalian tak perlu takut bakal ketinggalan pesawat. Di bandara
sebenarnya juga tersedia wifi yang bisa diakses gratis oleh
penumpang.
Sayangnya di sana tidak cukup informasi mengenai hal ini.
Di Svarnabhumi meski ada wifi gratis, namun tak ada flyer atau
petunjuk yang menginformasikan password dan username untuk akses
internet di Gate transitku. Apalagi saat itu menunjukkan 23.45 dan
tak terlihat satupun petugas yang jaga sehingga akupun hanya bisa
duduk mendengarkan musik sampai waktu terbangku ke Zurich tiba.
Pukul 00.45, waktu
boarding menuju Zurich tiba. Setelah penumpang bisnis diminta masuk
terlebih dahulu menuju pesawat, giliran penumpang kelas ekonomi yang
masuk, termasuk aku. Pesawat Thai Airways itu berbadan besar, aku
enggak tahu jenisnya apa, tapi dalam setiap baris kelas ekonomi, ada
9 orang yang duduk yang terbagi dalam tiga baris dan dua sekat. Aku
duduk bersama satu orang pria sepertinya berasal dari timur tengah
dan satunya perempuan berasal dari China. Tak seperti penerbangan
sebelumnya, aku tak akrab dengan keduanya. Sialnya, kursi yang aku
duduki stucked, sehingga tak bisa dilonggarkan ke belakang. Tapi tak
apa, karena perjalanan akan dilakukan sepanjang malam, aku akan terus
mencoba untuk tidur selama 11 jam. Pegal juga sih pantat harus duduk.
Oh ya, ketika
terbang, aku suka duduk di dekat jendela. Pertama, aku suka sensasi
naik turun turbulensi pesawat, kedua, aku senang menyaksikan gumpalan
awan alias cotton candy dan menjepretnya dengan ponselku. Tapi,
enggak enaknya adalah ketika kebelet pipis di pesawat, dan harus izin
di penumpang yang ada di sebelah kita. So, it is your choice.
Perjalanan selama 11
jam aku lewati dengan cara bangun tidur, tidur lagi, bangun lagi,
tidur lagi, tanpa gosok gigi dan minum kopi. Benar-benar bosen,
padahal udah diisi juga dengan nonton film dan main games di monitor
yang ada di depanku. Tapi tetap aja, kalau enggak bisa ke mana-mana,
pantat pegel juga. Aku ada saran buat teman-teman yang pergi ke LN
untuk menghindari jetlag, buat aku sih berhasil, mungkin kalian bisa
coba. Yaitu, jangan pakai jam tangan saat di pesawat. Kalau mau intip
jam, cukup intip yang ada di handphone, karena jam di HP itu langsung
menyesuaikan waktu di mana kita tinggal. Beda dengan jam di tangan
yang harus di set ulang. Enggak tau juga sih apakah jam tangan mahal
bisa langsung set waktu secara otomatis, enggak pernah beli jam mahal
euy, pakai Casio aja udah bersyukur banget, hahaha.
Daaan... aku seneng
banget saat aku liat jam udah pukul 05.00, saat intip jendela,
terlihat gumpalan awan dan cahaya matahari terbit. Indah banget
guysss langit Eropa. Cerah banget, indah banget saat lihat pegunungan
Alpen dari pesawat. Bisa banget buat difoto buat koleksi di
instagram. Aku juga tambah deg-degan menantikan kedatanganku di
bandara. Bayangin mukanya Jerome saat jemput di bandara sama Paps
Bernhard. Badan juga rasanya udah kaku banget pengen cepat-cepat
turun dari pesawat dan menghirup udara segar di Swiss.
|
Good Morning my Sunshine and Cotton Candy! :) |
|
|
|
Pemandangan Pegunungan Alpen dari dalam pesawat, Senin, 29 Agustus 2017 |
Pesawatku mengalami
sedikit keterlambatan. Yang harusnya dijadwalkan tiba pukul 07.15,
akhirnya baru nyampe sekitar 08.00. Pertama kali menginjakkan kaki di
Zurich International Airport, aku reflek mengucap
Alhamdulillahirobilalamin ya Allah... bersyukur bisa menginjak
belahan bumi lain dengan selamat dan sehat.
Langsung aku cari kamar
mandi, bersihin muka dan badan ala kadarnya biar enggak kucel-kucel
amat saat ketemu calon suami. Eeh, ternyata gara-gara kelamaan di
toilet aku ketinggalan dong sama rombongan pesawatku. But i tried to
stay cool, karena kalau buru-buru itu enggak baik kan, bikin pikiran
berantakan, jadi tenang aja. Ga bakal ilang juga kok kopernya dicuri
orang.
Keluar dari toilet,
aku tanya ke satpam perempuan yang jaga di sana. Langsung deh ya ala
ala ngomong pakai bahasa Inggris gitu. “Excuse me, where I can get
my all bags?” . Satpam itu minta aku buat naik kereta bawah tanah,
karena itu yang mengantarkan aku buat ambil koper bagasi sekaligus
cek di imigrasi. Huwaaaa ternyata masih banyak dong yang antri di
sana. Imigrasi dibagi menjadi dua antrean, yakni imigrasi untuk orang
yang tinggal di kawasan Uni Eropa (EU), dan untuk umum seluruh
negara, yang antreannya puanjang banget. Pas tiba giliranku, aku
ditanya sekitar tiga menit.
Apa tujuanku ke sini, berapa lama akan
tinggal di sini, nanti tinggal sama siapa selama di sini, kapan
menikah kalau memang tujuannya untuk persiapan nikah?. I was panic
before, but i tried to handle it. Aku tatap petugas imigrasi
perempuan itu tanpa ragu, ceileeeh... aku jawab aja, “I come here
to visit my future husband, Jerome Frick. We would marry in this
October, I will live with Mr Bernhard Frick, my future father in law.
I would stay here maybe for 6 months first, then I will back to
Indonesia with my husband, and stay here for long,” ucapku kurang
lebih saat itu.
Petugas itu lantas menscan pasporku, dia juga bilang
congratulations karena aku akan menikah. Setelah diperbolehkan masuk,
aku berjalan menuju tempat pengambilan bagasi. Alhamdulillah, antrean
untuk ambil bagasi udah enggak ada, dan aku melihat bawaanku bersama
1-3 koper lain yang masih muter-muter. Kuambil bawaanku yang berat
totalnya sekitar 26 kilo itu untuk aku bawa ke troli, menuju tempat
kedatangan. Aaaaa hati rasanya enggak karuan bayangin muka Jerome and
paps, karena udah 5 bulan enggak ketemu.
Keluar dari tempat
kedatangan, aku celingukan, Jerome di mana, pikirku. Tiba-tiba, satu
orang cowok ganteng, pake blazer n celana warna abu lari ke arahku
dan langsung senyum. He hugs me! Ya ampun, itu ternyata Jerome!
Huwaaaa ganteng bangetttttt laki gueee,, hahaha sampe agak enggak
ngenalin karena selama long distance, kami hanya ngobrol via video
call dan telepon. Dan saat ketemu, mukanya enggak lagi begitu chubby,
huhuuu i lost my favorite donut cheeks. He looks so happy that time
so i am. Paps juga nyamperin aku, he hugs me too, i was really happy!
Happy banget. Penantian panjang dan kesabaran akhirnya berbuah manis.
Kami pun langsung membawa seluruh barang ke mobilnya paps, menikmati
perjalanan menuju rumah mereka, di Riethaldenstrasse 10a, 8266
Steckborn.
|
Me and my future husband Jerome Frick |
|
|
Me, my future paps in law Bernhard Frick and Jerome Frick |
|
tempat tinggal Jerome and Paps, Steckborn-Swiss |
I am gonna tell you
my next story ya... to be continued. Let me take a breath awhile :)