Monday, January 22, 2018

Sharing Pengalaman: Rasanya Punya Mertua Bule



Hari ini saya lagi pengen banget cerita soal pengalaman saya setelah empat bulan lebih menginjakkan kaki saya di tanah Swiss alias Switzerland. 

Yang mau saya bahas kali ini adalah tentang papa mertua saya, Bernhard Ewald Frick, alias Papi Frick (begitu saya memanggilnya). Gimana sih rasanya punya mertua bule? Enak enggak? Bingung enggak ngobrolnya? Baik enggak? Satu satu bakal saya bahas gimana sosok beliau di mata saya, dari gambaran ini bisa tahu lah, saya ini termasuk menantu beruntung atau tidak.

Saya jujur, pertama kali bertemu secara langsung dengan Papi, adalah saat pertama kali beliau mengantarkan anaknya Jerome Frick alias suami saya sendiri ke Bandara Zurich. Saat itu 29 Agustus 2017, usai saya dihampiri Jey, papi ikut menghampiri saya, dan enggak tahu kenapa padahal baru ketemu tapi dia udah anggap saya kaya anak sendiri. Saya dipeluk, ditepuk punggungnya, dan dia bilang,”Willkommen Tita,” sambil senyum. Dia bantu saya bawa semua koper ke mobil, dan menyetir di depan sendiri. 

Sebelumnya, Jey udah mengenalkan saya dengan papi melalui video call. Saya pun juga dikirimi Jey beberapa foto papi saat sedang bersama kakak-kakaknya. So, sebelumnya ada perasaan takut juga, ini saya belum pernah ketemu, kok tahu-tahu mau dinikahi anaknya, gimana entar kelanjutan kehidupan saya di Swiss, jangan-jangan dia galak lagi? Begitu perasaan saya saat itu.


Pertama kali dijemput dan bertemu Paps Frick, 29 Agustus 2017

Namun jika saya menilik ke belakang, perjalanan pernikahan saya dan Jerome tak pernah terlepas dari sosok beliau. Justru papi lah yang membantu pengumpulan dokumen pernikahan saya dan Jey, karena saat itu ada beberapa dokumen saya yang sudah sampai di Swiss, namun Jey masih di Afrika untuk touring. Sehingga papi lah yang harus mencarikan, menscan, dan mengirim dokumen ke kantor catatan sipil di Frauenfeld. Nah berikut ini beberapa poin yang saya temukan dan menggambarkan gimana hubungan saya dengan papa mertua saya.


1. Kendala Bahasa 

Setelah beberapa hari tinggal di Swiss, saya mulai merasakan kendala yang harus saya hadapi ketika berkomunikasi dengan papi. Pasalnya, saya belum bisa menguasai Bahasa Jerman, dan Papi yang sudah agak lupa bagaimana berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris. Untuk mengurangi kendala ini, kalau di rumah saya biasa menggunakan google translate Inggris-Jerman dan sebaliknya ketika harus berkomunikasi dengan beliau. Adapun saat di luar, karena handphone tidak terkoneksi dengan internet, saya terpaksa harus berbicara menggunakan kode isyarat dengan menyelipkan beberapa kata dari Bahasa Jerman dan Inggris. 


Menemani Paps belanja ke Jerman

 

Bisa dibayangin kan gimana ribet dan kocaknya. Kadang nih kalau saya menemani beliau ke Jerman untuk mengambil paketan dari Onlineshopnya, kami suka sama-sama diam di mobil, karena bingung apa yang mau diomongin. Kadang untuk make sure kalau semuanya baik-baik saja, salah satu dari kami memulai pembicaraan. Seperti misalnya, andalan saya, “Ahh es kalt”,”Wow, Bodensee sehr schoon”,”Ich mag der luft so warm,” dan sebagainya, yang memancing beliau buat ngomong, begitu pula sebaliknya.

Tapi, per awal Januari kemarin, kendala saya sedikit teratasi. Oleh suami saya disekolahin ke Migros Klubschule buat belajar bahasa Jerman. So, biarpun masih terbata-bata, sekarang saya mulai membiasakan diri untuk lebih percaya diri ngobrol pakai bahasa Jerman biarpun kadang masih salah-salah juga grammarnya.


2. Paps itu Tegas Tapi Penyayang

Ya begitulah adanya. Papi itu kalau bicara dengan kliennya melalui sambungan telepon terdengar tegas. Beliau juga punya kepribadian unik yang pernah bikin saya geleng-geleng. Di usianya yang udah menginjak 74 tahun, saya tak melihat tanda-tanda jiwa menua darinya. Dia masih gagah, lincah, gesit, sigap dalam menyetir mobilnya.

Jika kami bertiga (dengan Jey) mau pergi ke manapun, dia yang selalu duduk di bangku setir. Dengan kecepatan di atas 80 km per jam, beliau cukup membuat deg-degan saya. Pernah suatu ketika, saat sedang reting, beliau agak berhenti mendadak di tengah jalan dan hal itu membuat pengendara mobil lain mengacungkan jari tengahnya. Enggak mau kalah, papi yang merasa saat itu benar telah melakukan reting, membalas dengan mengacungkan jari tengahnya ke orang itu sambil tertawa. 

Contoh ketegasannya lagi, saat saya menemani beliau ke Penny Markt, di kota Singen, Jerman. Ia melihat ada sebuah sepeda yang diparkir di depan tempat menyimpan trolly belanja. Tentunya ini akan menyulitkan pelanggan untuk mengambil atau akan mengembalikan trolly ke tempatnya. Gerah melihat hal ini, papi langsung mengangkap sepeda berukuran besar itu ke atas meja yang berada di samping trolly. Padahal meja tersebut sudah ditumpuk dua tingkat sehingga cukup tinggi.

"Salah sendiri naruh sembarangan. Biarin aja sekalian susah ngambilnya,” begitu kata beliau (kurang lebih kalau ditranslate ke bahasa. Hahaha saya agak malu juga sih karena banyak orang yang hanya melongo melihat tingkah mertua saya.


Paps pertama kali makan Nagasari buatanku. Beliau senang akhirnya bisa memanfaatkan daun pisang dari kebunnya sendiri, karena awalnya belum pernah tau bagaimana caranya masak dengan daun ini.



Kenapa saya menyebut mertua penyayang? Banyak sekali sebenarnya kejadian-kejadian menyangkut hal ini. Tapi yang paling saya ingat adalah saat saya punya sakit punggung gara-gara enggak betah cuaca dingin. Dari yang namanya diolesin balsem, dikerokin sama suami enggak sembuh-sembuh. 

Pernah suatu ketika karena saking sakitnya saya enggak ikut join makan malam. Begitu esok paginya, saat bertemu, mertua pasti tanya. “Tita, wie geht es dir?” dan saya selalu jawab Mir geht es gut, aber (aku baik-baik saja, tapi...) (cerita kalau punggung sakit). 

Singkat cerita setelah beliau bertanya hal itu, siangnya pintu kamarku diketok Papi. Saya mikir kok tumben banget, biasanya kalau papi butuh bantuan suka panggil dari bawah. Pas buka pintu terkejut karena Papi bawain aku teh herbal yang dibuat dari bunga (enggak tahu bahasa Indonesianya) Schafgarberblüten. Padahal, untuk mendapatkan teh itu dia harus pergi ke Zurich, perjalanan sekitar 3 jam PP dari dan ke Steckborn, dan harganya pun (kalau dirupiahin) cukup tinggi.

Papi tanya, “Wie geht es dir Tita? Es ist für dich," katanya sambil memberikan mug berisi teh herbal. Ia juga menunjukkan kertas kecil bertuliskan “drink as hot as you can”. 

Kata beliau, takut saya enggak ngerti, makanya translate dulu pakai komputer di google translate dari Jerman ke Inggris, lalu ia print di kertas HVS dan digunting kecil. Jujur terharu ya, bokap mertua yang baru saya kenal baru dua bulan kok baik banget. Abis itu saya diminta istirahat dan didoain cepet sembuh. 

Kejadian ini aku ceritain ke suamiku Jey lewat whats app. Saya kirimkan foto mug dan print an kertas itu. Jawabnya dia,”Because now you are also his daughter.” Yah, tambah meweklah dengan kebaikan dua bule bapak-anak ini. Dan ternyata bokap emang paling seneng kalau berkreasi dengan aneka herbal untuk penyembuhan secara alami dibandingan dengan menggunakan obat.


Teh buatan Paps dan tulisan berbahasa Inggris yang ia buat untukku ini sukses bikin terharu. Love you sooo much meine Vater :)



Lalu kalau saya tidak gabung untuk makan malam, gara-gara lagi ngambek sama Jey, ternyata Paps suka tanya ke Jey, Warum kann nicht deine Frau kommen? Suamiku mana enggak bisa bohong. Kalau saya dan dia lagi diem-dieman, Paps suka tanya ke Jey, masalahnya apa. Dan beliau kasih solusi. 

Baru paginya pas ketemu saya nanya lagi, Wie geht’s Tita? Alles Klar? Paps selalu berusaha biar gimana saya tetap nyaman di rumah. Hikss pengen nangis kalo ngebayangin gimana susahnya Paps dulu berjuang sendiri besarin 5 anak setelah Moms meninggal. Fyi, mama mertuaku udah enggak ada sejak Jey umur 9 tahun. Jadi Jey tumbuh belasan tahun lalu tanpa mamanya. Alhamdulillah meskipun single parent, paps bisa mendidik anak-anaknya menjadi orang baik.



3. He is a great chef

Saya mendengar dari Jey kalau awal papa dan mamanya bertemu itu saat keduanya bekerja di restoran di Swiss. Dari situlah saya menduga bahwa Paps adalah chef yang keren. Hal itu dibuktikan saat ia menawarkan ingin memasak menu makan malam, beef dari hackfleish atau daging giling, pasta dan salad. Tangannya yang gercep motong bahan makanan bikin saya melongoh. 

Yang paling saya suka, beliau concern banget sama yang namanya kebersihan dan kesehatan. Karena itu, abis masak, motong bahan apapun, paps selalu mastiin langsung bersihin itu kulit sayuran, tepung-tepung jatuh, minyak nyiprat, dan segala macem pengotor lainnya sehingga dapur bersih lagi. Tentu ini secara langsung juga ngajarin saya buat bikin rumah tetap bersih. Karena itu, selama masih nganggur ini (only learn German language) hampir tiap pagi saya ngawalin buat ngepel rumah dan aneka kerjaan rumah lainnya.



4. Junjung tinggi toleransi
 
Oh ya, as you know, perbedaan keyakinan antara saya dan mertua bukan berarti bukan bikin kami musuhan. Alhamdulillah, mungkin udah jalannya, Tuhan kasih saya mertua yang toleran. Bisa bayangin lah gimana di sini saya bisa nemuin dengan gampangnya daging babi, wine, beer, hal-hal yang diharamkan dalam islam. Tapi papi menghargai saya. Beliau menyimpan babi di tempat terpisah, masak dan makan di tempat terpisah. Begitu juga saat minum wine, ada gelas khusus buatnya. 

Kalau saya kebetulan ikut ke market, beliau akan bilang,”Diese fleisch ist nicht fur dich (daging itu bukan buat kamu – karena daging babi), atau,” Möchtest du händchen oder rindfleisch? (apakah kamu mau daging ayam atau daging sapi?) pokoknya paps itu orangnya fleksibel dan apa adanya. Istilah gampangnya gini, gue respect lo, tapi lo juga respect gue ya. Ya buat saya agamamu itu agamamu, agamaku itu agamaku. Hmm kalau aja semua netizen ngerti model gini yaa, pasti ga banyak yang nyinyir di medsos, hahaha


Makan bersama merayakan Ultahku di restoran halal



Sebenarnya masih banyak banget hal-hal positif dan segala hal yang saya dapat dari mertua saya. Intinya, saya bener-bener merasa sebagai perempuan yang beruntung. Punya mertua seperti Paps Frick dan suami seperti Jerome. 

Saya bertemu dengan Paps begitu singkat, namun sesingkat itu juga beliau menerima saya sebagai “anak barunya”. Padahal kalau dipikir, banyak banget orang tua (bule) di luaran sana yang pengen anaknya enggak nikah muda, biar berpetualang dulu, dan sebagainya. Namun keluarga Frick begitu berbesar hati menerima saya, dan menyayangi saya layaknya keluarga sendiri. Saya benar-benar menantu yang beruntung punya mertua seperti Paps :).

8 comments:

  1. Hi, seneng banget baca blogmu mbak. Tulisannya bagus dan feels so happy to read your story
    :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallo Mbak Nazila, terima kasih yaa sudah baca. Hanya sharing pengalaman saja. Salam kenal mbak 😊

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
  2. he mbak bole bagi email ny ga . buat sharing2 . soalny aku juga baru2 pindh di swiss . trmksh

    ReplyDelete
  3. hai mbaak salam kenal seneng bgt nemu blog.nya renc akhir okt ini sy mau ke swiss boleh tanya2 via email? thx bgt yah

    ReplyDelete
  4. Hi mba, saya sangat senang membaca ceritamu dan ceritamu sangat menginspirasi.
    Bahagia terus ya mba 😊.
    Ada satu hal yang bikin aku penasaran. kamu sama paps kan beda keyakinan yah, apakah sama suamimu juga beda keyakinan mba?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallo mbak, salam kenal. Engga mbak, saya dan suami muslim😊

      Delete

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Seputar Kawin Campur - Mohon Untuk Tidak Mengirim Email

  Pesan ini benar-benar ingin sekali saya sampaikan kepada para pembaca blog, terutama untuk yang sedang dalam proses mengurus dokumen perni...